Selasa, 07 Juli 2009

Satu Capres Partai Islam


Sulit untuk tidak menilai bahwa gagasan Amien Rais untuk mendukung satu capres partai Islam di putaran kedua pemilihan presiden (pilpres) pada pemilu 2004, adalah tidak saja bentuk penghadangan naiknya kembali Megawati, tetapi juga perlawanan dari sejumlah nama capres Partai Golkar yang kini tengah disosialisasikan dalam laga konvensi.

Gagasan yang kabarnya merupakan konsensus lima “partai Islam”, yakni PPP, PKB, PAN, PBB, dan PKS serta satu ormas Islam yakni Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) ini sontak mendapat respon beragam. Sementara tafsir politik atas gagasan Ketua Umum PAN ini pun bercabang dua.

Tafsir politik pertama menilai gagasan itu hanyalah trik politik Amien untuk melapangkan jalannya menuju kursi kepresidenan. Penilaian ini terasa wajar mengingat dukungan dari berbagai ormas terhadap tokoh yang kini aktif berkampanye ke basis NU ini semakin menguat. Tidak kurang Ketua PP. Muhammadiyah, A. Syafii Ma’arif, yang berulangkali mengatakan bahwa pada pilpres mendatang 99 persen suara muhammadiyah akan tersalurkan pada kader terbaik muhammadiyah. Walaupun tidak eksplisit menyebut nama Amien, namun rakyat sangat mahfum bahwa pernyataan tersebut tertuju pada mantan ketua umum muhammadiyah ini. Bahkan di Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makassar banyak aktivis muhammadiyah mendesak agar dikeluarkan fatwa untuk mendukung Amien Rais.

Karenanya, wajar jika banyak pihak menilai, gagasan satu capres partai Islam itu jelas lebih menguntungkan PAN, daripada partai Islam lain. Apalagi di luar PBB yang telah menyebut nama Yusril Ihza Mahendra sebagai capresnya; PPP dan PKS, dua partai Islam lain yang memperoleh suara signifikan di Pemilu 1999, belum menyebut nama. PPP yang sebelumnya diprediksi mengajukan Hamzah Haz; dalam Mukernas-nya (16-18/10) justru menunda penetapan capres hingga pasca pemilu legislatif. PKS, tak jauh beda ! Sementara, pertemuan seribu kiai dan ulama NU di Ponpes Asshidiqiyah II, Batu Ceper, Tangerang, (23/10) justru mengkoreksi pencapresan Gus Dur oleh PKB.

Tafsir politik kedua menilai bahwa gagasan Amien tersebut merupakan bentuk kekecewaan rakyat terhadap kepemimpinan Megawati. Jargon yang diangkatpun, Lawan Mega ! Bagi sejumlah kalangan yang mempercayai tafsir ini menganggap bahwa gagasan Amien adalah langkah positif yang seharusnya dimainkan oleh partai Islam untuk menghadang naiknya kembali Mega sebagai presiden ataupun kekuasaan Orde Baru dibawah kendali Golkar.

Idealnya memang, partai-partai Islam pada pilpres mendatang bersepakat untuk mencalonkan dan mendukung bersama satu pasangan capres dan cawapres. Ini sebagai solusi untuk menghindari pecahnya suara umat Islam ke capres lain yang tak didukung partai Islam.

Pendukung tafsir ini menilai bahwa gagasan Amien sangatlah tepat ditengah gencarnya tarik ulur para petinggi sejumlah ormas Islam, ulama, dan pimpinan pesantren untuk mendukung calon tertentu. Dengan penegasan satu capres partai Islam, paling tidak umat Islam akan bersatu dalam bendera yang sama, pasca pemilihan legislatif.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, perlu kiranya untuk menyamakan persepsi, yang dimaksud dengan partai Islam disini adalah partai yang berazaskan Islam dan terbuka, yang berbasis konstituen muslim.

Argumentasi

Apapun tafsir politik yang berkembang, yang perlu dikaji lebih lanjut mungkinkah ide satu capres partai Islam itu diteruskan ? Adakah untung ruginya jika partai-partai Islam mengajukan satu capres dalam pemilu mendatang ?

Jika merujuk pengalaman politik masa lalu nampaknya harapan itu sulit untuk diwujudkan. Apalagi melihat antusiasme beberapa partai Islam seperti, PPP, PKB, PAN, PBB, dan PKS yang telah berniat mencalonkan kadernya masing-masing. Sementara sudah menjadi rahasia umum bahwa antar sesama tokoh Islam sungguh sulit untuk bersatu dalam satu kepentingan. Sejarah mencatat, menangnya poros tengah di pemilu 1999 dalam mengantarkan Gus Dur ke kursi presiden tidak kemudian menjadikan partai Islam bersatu. Friksi dalam penentuan posisi kabinet ataupun sejumlah jabatan di departemen telah menampakkan wajah buram politik Islam kala itu.

Bagi rakyat -- mungkin khususnya warga nahdliyin -- gagasan Amien dinilai sebagai cita-cita politik seperti yang pernah dilakukannya pada Pemilu 1999. Wajar jika tanggapan pesimis atas ide satu capres partai Islam-pun bermunculan. Apalagi dalam proses politik, yang penting adalah adanya perubahan. Koalisi ataupun tidak jika tak menuju arah lebih baik, sama saja !

Sebenarnya ide satu capres partai Islam bukanlah hal baru. Namun, jika kemudian kini muncul kembali menjelang pemilu 2004, tak lain karena saat inilah dianggap sebagai momentum tokoh (partai) Islam untuk menduduki pucuk pimpinan nasional. Ada tiga argumentasi mengapa saat ini momentum tepat untuk mendudukkan tokoh berbasis massa partai Islam sebagai presiden.

Pertama, meluapnya kekecewaan rakyat terhadap Megawati. Sejumlah kebijakan Mega di bidang hukum, politik dan ekonomi tidak menunjukkan keberpihakannya pada rakyat kecil. Justru, korupsi makin merajalela dan menggerogoti keuangan negara. Kolusi, kronisme dan nepotisme antar pejabat dan pengusaha, yang bisa dicermati dalam kasus BLBI dan pengisian jabatan lowong di direksi BUMN menjadi menu harian yang tak sedap. Kemandirian sebagai bangsa tergadaikan dengan banyaknya BUMN yang diprivatisasi, sementara ketundukan terhadap dominasi negara barat tak juga dapat diakhiri.

Bahkan, Megawati tidak pernah menunjukkan keberpihakannya kepada umat Islam. Yang lebih tragis, sejumlah tokoh Islam, seperti Abu Bakar Ba’syir atau Habieb Rizieq ditangkap dan diadili dengan ragam tuduhan sementara ada tokoh politik yang terlibat dalam “pembakaran massa” dalam kasus Ambon tak tersentuh oleh hukum. Ada ketidakadilan menimpa umat Islam. Stigmatisasi teroris yang lekat di hati umat Islam-pun tak kemudian membuat Megawati melakukan klarifikasi !

Kedua, jika-pun pemerintah dikendalikan oleh Partai Golkar, rakyat tentu belum hilang ingatan akan luka lama akibat buruknya sistem pemerintahan Orba. Sejarah selama rentang waktu 32 tahun membuktikan, bahwa dominasi negara dan militer menjadi ketakutan tersendiri di benak rakyat. Pengebirian hak-hak sipil ataupun keterkekangan berpendapat menjadikan cerita masa lalu itu tak ingin terulang.

Sementara, ketiga, menyimak data KPU pada pemilu 1999, partai-partai Islam besar justru meraih jumlah suara tertinggi, sekitar 36,357 juta (28,63 persen) dari 127 juta pemilih. Dari angka tersebut, PPP meraih 11,329 juta, PKB 13,336 juta, PAN 7,528 juta, PBB 2,049 juta, Partai Keadilan 1,439 juta, dan PNU 679 ribu. Pemenang pemilu, PDI-P meraih suara 35,689 juta (28,10 persen), Golkar 23,741 juta (18,69 persen), dan sisa suara 20,58 persen terbagi dalam beberapa partai kecil berbasis nasionalis dan Islam. Sementara 4 persen golput.

Jika melihat peta suara di pemilu 1999, dapat dinilai bahwa potensi suara partai Islam sangat signifikan untuk merebut posisi presiden pada pilpres. Ini dengan catatan, perubahan peta suara tak terjadi secara dramatis pada pemilu 2004. Apalagi, jika menyimak banyak terjadinya konflik internal di tubuh PDI-P seputar pilihan kepala daerah, yang diprediksi memicu penurunan suara partai berlambang banteng ini secara signifikan.

Konsensus

Persoalannya adalah, mengapa konsensus satu capres partai Islam itu hanya berlaku pada pilpres putaran kedua ? Adakah ini hanya strategi Amien untuk menangguk suara muslim, ditengah kemungkinan tak adanya tokoh partai Islam yang tak selevel bersaing dengannya ?

Berlakunya konsensus hanya saat putaran kedua pilpres tersebut bisa berakibat chaos antar pendukung partai Islam. Mengapa ? Karena, bukan tidak mungkin , dengan landasan dlarurah dan dalih kepentingan bangsa, Muhammadiyah akhirnya mengeluarkan fatwa untuk memilih Amien Rais, sementara hal yang sama dilakukan NU, mengeluarkan tausiyah untuk mendukung calon yang diajukan oleh PKB. Inilah yang berakibat suasana disharmoni antar umat dua ormas Islam ini rentan terjadi !

Lantas, jika kemudian, calon yang diajukan oleh PPP, PBB, dan PKS-pun berbeda; tidakkah kemungkinan suara umat Islam itu akan tercecar ? Bagaimana jika kemudian banyaknya capres Partai Islam tersebut hanya memperoleh suara yang kecil dan kalah dari capres PDI-P dan Golkar ? Bukankah berarti yang masuk “final” pada putaran kedua, dan akhirnya yang memenangkan pertarungan adalah justru partai lain diluar kelompok “Islam” ?

Seharusnya, konsensus yang dibangun adalah, partai Islam manapun yang meraih suara tertinggi dalam pemilu legislatif, dialah yang berhak mengajukan capres dan didukung semua partai Islam lain yang mengadakan konsensus. Ini yang selazimnya terjadi. Artinya, pada pilpres putaran pertama, partai Islam hanya mengusung satu capres. Dan ini jelas lebih representatif, kredibel, jauh dari kemungkinan pertikaian antar pendukung capres, dan tercecarnya suara yang berakibat jebloknya capres partai Islam.

Dan, jika-pun kemudian PBNU, PP. Muhammadiyah ataupun Ormas Islam lain memberi dukungan satu capres Islam yang telah mendapat kesepakatan antar partai Islam sebagai hasil kemenangan partainya di pemilu legislatif, bukankah itu jauh lebih indah. Ketimbang ada beberapa alternatif capres partai islam di putaran pertama yang sungguh sulit untuk tidak disebut, pasti ada sesuatu yang ganjil dibalik itu.

Jika hal ini yang disepakati, sangat mungkin kecurigaan bahwa gagasan ini hanyalah trik politik Amien Rais akan terbantahkan.

Jombang, 29 Oktober 2003

A. Hafidz Ma’soem

Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda