Selasa, 07 Juli 2009

Revisi Aturan Pilkada Langsung, Sebuah Keharusan!

Tahun 2005 akan tercatat dalam sejarah politik Indonesia sebagai tonggak awal mekarnya bunga demokrasi di tingkat daerah. Penyebabnya, pada tahun ini untuk pertama kalinya daerah-daerah di Indonesia –baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota- menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung oleh rakyat. Tahun ini, setidaknya ada 224 pilkada langsung yang akan digelar di seluruh Indonesia. Pada gelombang pertama, Juni 2005, pilkada langsung dilaksanakan di 178 daerah (7 provinsi, 145 kabupaten, dan 26 kota). Sedangkan, gelombang kedua, Desember 2005, akan berlangsung di 46 daerah (4 provinsi, 33 kabupaten, dan 9 kota).

Pilkada langsung merupakan jawaban dari tuntutan rakyat untuk memilih sendiri pemimpin daerahnya; tidak lagi mempercayakan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang selama ini memiliki hak menentukan kepala daerah. Inti dari pilkada langsung adalah: kalau dulu kepala daerah ditentukan oleh sejumlah anggota DPRD, maka sekarang seluruh rakyat yang mempunyai hak memilih, sudah dapat menggunakan hak suaranya secara langsung dan terbuka. Persis seperti pemilihan presiden dan wakil presiden.

Mekanisme semacam ini akan menjamin terciptanya sistem politik yang lebih demokratis. Ia dipandang sebagai kerangka sistem (system framework) yang handal (reliable) untuk mempromosikan partisipasi publik, legitimasi politik, akuntabilitas pemerintahan, serta check and balances antara eksekutif dan legislatif daerah. Karenanya, secara substansi, pilkada langsung merupakan perkembangan yang baik bagi demokratisasi di negeri ini. Logika politiknya sangat sederhana; dengan dipilih langsung, legitimasi yang dimiliki kepala daerah menjadi semakin kuat karena ia mendapatkan mandat langsung dari rakyat. Dengan demikian, demokrasi -yang mensyaratkan adanya partisipasi rakyat yang lebih luas dalam proses politik- akan semakin tumbuh subur. Pendek kata, dalam pilkada langsung rakyatlah yang berbicara, bukan cuma anggota DPRD!

Namun, bukan berarti tuntas sudah permasalahan terkait dengan pilkada langsung. Di balik hasrat untuk memekarkan demokrasi melalui pilkada langsung, tersemai bibit-bibit permasalahan yang bisa mencederai nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Bibit-bibit itu dapat dilihat pada ketentuan tentang pilkada langsung yang termuat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dari 240 pasal UU No. 32/2004, terdapat 64 pasal yang membahas pilkada langsung. yaitu pasal 24 dan pasal 56 sampai 119. Pasal 24 menegaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Sedangkan, pengaturan teknis pelaksanaan tertuang secara rinci mulai pasal 56 sampai 119. Pasal 24 tentu bukan merupakan suatu permasalahan. Yang jadi permasalahan adalah ketentuan-ketentuan tentang teknis pelaksanaan yang tercantum dalam pasal 56 sampai 119. Setidaknya, terdapat dua titik permasalahan disitu.

Permasalahan pertama menyangkut peran KPU dan KPU Daerah (KPUD). Dalam UU No. 32/2004, KPUD ditetapkan sebagai penyelenggara pilkada yang bertanggung jawab kepada DPRD (pasal 57 ayat 1 dan 2). Tetapi, sampai dengan dengan pasal-pasal terakhir tidak disinggung sama sekali tentang peran KPU Pusat yang notabene induk KPUD. Pengaturan yang seperti ini, mencerminkan ketidaktaatan asas. Sebab, hal itu tidak sejalan dengan undang-undang yang menjadi landasan yuridis keberadaan KPU, yaitu pasal 22E UUD 1945 dan UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, serta UU No. 23/2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003 secara tegas menyebutkan bahwa KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan dengan KPU. Berkaca pada ketentuan ini, semestinya KPUD bertanggungjawab penuh kepada KPU. Itu berarti, UU No. 32/2004 telah menyalahi UU No. 12/2003 dan UU No. 23/2003. UU No. 32/2004 telah memotong jaringan KPU dari pusat sampai daerah. Akibatnya, antara KPUD satu dan KPUD lain tidak memiliki hubungan.

Permasalahan tersebut akan melahirkan persoalan teknis di kemudian hari, yakni KPUD sangat mungkin dikooptasi DPRD yang terdiri dari partai-partai politik, sebab DPRD tidak akan bisa lepas dari konstelasi partai politik di dalamnya. Ambil contoh saja, seandainya calon kepala daerah yang dijagokan partai yang menguasai mayoritas DPRD kalah, DPRD bisa menolak pertanggungjawaban pilkada oleh KPUD. Sehingga, hasil pilkada bisa jadi akan dibatalkan, dan ujung-ujungnya konflik sosial politik, baik di tataran elit maupun massa, rentan terjadi.

Tanpa cantolan dengan KPU Pusat, KPUD tidak akan bisa lepas dari intervensi kekuatan politik -baik nasional maupun lokal- yang berkepentingan terhadap pilkada. Disinilah letak independensi lembaga menjadi pertimbangan besar. Jalur ke DPRD dianggap sangat sarat kepentingan politik, karenanya sulit independen. Sebaliknya, jalur ke KPU Pusat dianggap lebih independen karena sangat jauh keterkaitannya dengan parpol dan calon yang notabene dicalonkan parpol.

Di samping itu, karena KPUD hanya akan bertanggungjawab kepada DPRD, kasus korupsi KPUD di seluruh Indonesia akan merajalela sebab sangat dikhawatirkan terjadi kongkalikong antara KPUD dan DPRD setempat dalam hal anggaran pembiayaan pilkada.. Padahal, kalau pilkada itu diselenggarakan oleh KPU yang bersifat tetap, mandiri dan nasional, KPUD tidak bisa tunduk kepada DPRD. KPUD tidak bisa sembarangan menggunakan anggaran pilkada karena mereka harus bertanggung jawab kepada KPU.

Penghapusan peran KPU dalam UU No. 32/2004 menunjukkan bahwa pembuat undang-undang cenderung melihat pilkada sebagai bagian dari “rezim Pemerintah Daerah” bukan “rezim Pemilu”. Ini mengacu pada interpretasi UUD 1945 yang tidak menyebutkan pilkada sebagai bagian dari Pemilu. UU No. 32/2004 hanya menggunakan pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 sebagai konsideran dalam pengaturan pilkada langsung. Penggunaan konsideran tersebut menjadikan pilkada seolah-olah tidak dikategorikan sebagai pemilihan umum. Ini terjadi karena UU No. 32/2004 hanya merujuk pada pasal pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang mengatakan bahwa kepala daerah dipilih secara demokratik. Padahal, dilihat dari substansinya yang menyerahkan sepenuhnya keputusan untuk memilih penguasa kepada rakyat, pilkada termasuk salah satu bentuk Pemilu.

Meski demikian, perlu diingat bahwa dalam UUD 1945, Pemilu Presiden juga tidak berada dalam Bab Pemilu yang diselenggarakan oleh KPU. Namun, penyelenggaraan Pemilu Presiden 2004 tetap diselenggarakan oleh KPU. Pengaturan pilkada langsung yang berada dalam UU Pemerintahan Daerah semakin memperkuat asumsi bahwa pilkada adalah bagian dari rezim Pemerintah Daerah. Akibatnya, peran KPU yang oleh UUD 1945 ditetapkan sebagai penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dihapus dari penyelenggaraan pilkada, bahkan tidak ada otoritas koordinasi dengan KPUD.

Terlepas dari kekurangan yang ada dalam pelaksanaan Pemilu 2004, KPU merupakan lembaga mandiri yang tidak berinduk baik kepada eksekutif maupun legislatif. Karenanya, ia disebut sebagai "rezim Pemilu" yang benar-benar terpisah dari ranah politik yang lain. Posisi demikian menjadikan KPU bisa independen dan otonom. Payung politik KPU adalah langsung UU No. 12/2003. Sehingga, keputusan-keputusan yang dibuat KPU mempunyai kekuatan hukum yang sangat legitimate. Lain halnya dengan posisi KPUD dalam pilkada yang tidak dilihat sebagai alat kelengkapan KPU yang ada di daerah.

Ketiadaan peran KPU sebagai otoritas nasional penyelenggara Pemilu akan menyebabkan lemahnya standar minimal penyelenggaraan Pemilu karena setiap KPUD dapat menetapkan standar sendiri yang belum tentu memenuhi syarat Pemilu jurdil dan demokratis. Selain itu, fungsi supervisi dan bimbingan dari otoritas yang lebih tinggi menjadi lenyap tanpa bekas. Padahal, fungsi itu sangat diperlukan bila KPUD menghadapi masalah yang tak dapat diselesaikan di tingkat lokal.

Permasalahan kedua dalam UU No. 32/2004 adalah adanya intervensi pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) yang dibuat oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Indikasi ini nampak dalam ketentuan pasal 65 (4), pasal 89 (23), pasal 94 (2), dan pasal 114 (2). Pasal 65 ayat (4) menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan masa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tahap pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Sedangkan, pasal 89 ayat (3) menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sementara, pasal 94 ayat (2) menegaskan tanda khusus (tinta) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan KPUD dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Senafas dengan itu semua, pasal 114 ayat (4) mengatakan tata cara untuk menjadi pemantau pemilihan dan pemantauan pemilihan serta pencabutan hak sebagai pemantau diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berbagai ketentuan yang melegalkan peran pemerintah ini bisa dibilang kemunduran demokratisasi. Visi penyelenggaraaan Pemilu jujur dan adil yang sepenuhnya bebas dari intervensi pemerintah bagaikan jalan ke belakang karena kembali pada era Pemilu di bawah Depdagri ketika masa Orde Baru. Jelas ini merupakan langkah mundur dalam proses demokrasi di Indonesia sebab di negara-negara demokrasi, Pemilu diselenggarakan oleh lembaga yang sepenuhnya independen dari pemerintah.

Ingat, setiap intervensi pemerintah dalam Pemilu termasuk pilkada adalah ancaman bagi demokrasi! Intervensi pemerintah melalui Peraturan Pemerintah berlawanan dengan pasal 22 UUD 1945 yang menggariskan bahwa Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dalam hal ini, terkesan peran KPU telah dikebiri oleh rezim yang berkuasa.

Urgensi Revisi

Melihat aneka permasalahan yang hinggap dalam pelaksanaan pilkada langsung, maka menjadi bencana demokrasi jika pilkada langsung dipaksakan berjalan dengan ketentuan yang ada dalam UU No. 32/2004.

Karena itu, revisi Undang-Undang No. 32 tahun 2004 menjadi sesuatu yang sangat urgen. Perubahan sejumlah aturan dalam undang-undang tersebut untuk mengembalikan nilai-nilai demokrasi ke habitat aslinya dan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya dampak buruk akibat persoalan negatif yang mungkin muncul di kemudian hari. Lantas, apa saja yang perlu direvisi?

Pertama, mengganti peran DPRD sebagai lembaga yang menerima laporan pertanggungjawaban dengan merevisi pasal 57 (1) dan 57 (2). Peran itu digantikan oleh KPU sebagai satu-satunya institusi yang berhak meminta laporan dari KPUD. Dengan begitu, pelaksanaan pilkada akan terhindar dari kepentingan-kepentingan politik dari partai yang menguasai DPRD. Posisi demikian menjadikan KPUD dapat mengadakan seluruh tahapan pilkada dengan independen dan otonom. KPUD hanya melaporkan pertanggungjawaban pilkada kepada KPU pusat yang merupakan lembaga yang membentuknya. Sehingga, keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pilkada akan memiliki kekuatan hukum yang bebas dari pengaruh politik. Dengan kata lain, keputusan tentang pilkada akan memiliki legitimasi yang kuat dan kokoh.

Kedua, mengganti peran Peraturan Pemerintah sebagai pedoman penyelenggaraan pilkada langsung dengan merevisi pasal 65 (4), 89 (3), 94 (2), 114 (4). Peran itu diganti dengan Keputusan KPU. Pilkada harus dijalankan sepenuhnya oleh lembaga independen yang mandiri. Ini penting untuk membebaskan pilkada dari campur tangan rezim penguasa. Intervensi pemerintah dalam proses politik rakyat hanya akan membawa negeri ini pada kehancuran sistem politik demokratis seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Demokrasi yang ditegakkan adalah demokrasi semu alias “demokrasi bohong-bohongan”. Jika pilkada sepenuhnya dilaksanakan lembaga independen seperti KPU, maka demokrasi tidak akan terancam dan malahan semakin mekar.

Mengingat pilkada langsung sudah mulai digelar bulan Juni 2005, maka revisi terhadap UU No. 32/2004 harus dilakukan secepat mungkin. Jangan sampai pilkada tetap digelar dengan payung hukum yang berlaku sekarang. Jangan sampai pula revisi terhadap undang-undang itu terlambat dilakukan hingga pilkada digelar. Penggunaan payung hukum yang berlaku sekarang atau keterlambatan revisi terhadap payung hukum tersebut hanya akan menimbulkan bahaya besar bagi proses demokrasi ke depan. Karena itu, jangan ditunda-tunda lagi, revisi UU No. 32/2004 sekarang juga!

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda