Selasa, 07 Juli 2009

Meneguhkan Komitmen Moral, Menegaskan Identitas Politik Islam

(Strategi Memperkokoh Eksistensi PPP)

oleh A. Hafidz Ma’soem

Tahun 2006 dapat dikatakan sebagai tahun musyawarah bagi PPP. Tahun ini, seluruh cabang dan wilayah se-Indonesia mengadakan Musyawarah Cabang (Muswil) dan Musyawarah Wilayah (Muswil). Agenda rutin lima tahunan itu akan mencapai puncaknya pada Muktamar pada awal tahun 2007. Bagi para kader PPP, forum musyawarah harus dijadikan sarana merefleksikan perjalanan partai selama 33 tahun berdiri untuk kemudian dijadikan pijakan baru dalam menatap perjuangan masa depan yang penuh tantangan. Inilah saatnya bagi PPP untuk memformulasikan langkah-langkah strategis demi mencapai cita-cita partai.

Sebagai partai politik yang telah berkiprah dalam pergerakan politik Indonesia selama tiga dekade lebih, tidak sedikit sumbangan yang sudah diberikan PPP bagi kemaslahatan umat, bangsa, dan negara. Sejarah perjuangan PPP dalam dinamika politik Indonesia dapat dikatakan sebagai perjalanan meresapnya nilai-nilai moral dalam kehidupan sosial politik di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Sebagai partai Islam, derap langkah PPP tak bisa dilepaskan dari nilai-nilai Islam yang melandasi gerak perjuangannya.

Selama Orde Baru, di kala kekuatan-kekuatan politik Indonesia dibatasi hanya tiga partai, PPP berada pada garda terdepan untuk memperjuangkan nilai-nilai moral dalam bingkai Islam. Hal ini wajar karena PPP adalah satu-satunya partai yang berbasis Islam hasil fusi dari NU, MI, Perti, dan SI. Tercatat dalam lintasan sejarah politik kita, PPP menjadi pelopor terdepan dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam untuk menjaga agar produk perundang-undangan tetap senafas dengan ajaran Islam. Ini tercermin dalam UU Peradilan Agama, UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pengadilan Anak, UU Perkawinan, UU Pengelolaan Zakat, dan UU Penyelenggaraan Haji. Di samping itu, pemberantasan perjudian (SDSB) juga merupakan salah satu hasil perjuangan politik PPP dalam komitmennya terhadap nilai-nilai moral.

Semua itu adalah upaya PPP untuk menanamkan pelaksanaan ajaran Islam menjadi peraturan perundang-undangan organik serta menjaganya agar tak bertentangan dengan akidah dan syariah Islam. Kiprah politik PPP di tengah dominasi Golkar dan ketidakberdayaan PDI waktu itu seolah menjadi angin segar bagi umat Islam yang merindukan menggemanya suara moralitas dalam perpolitikan Indonesia. Dengan perolehan suara di tiap pemilu yang rata-rata mencapai 17%, tampilan PPP di hadapan umat mencerminkan kekuatan politik yang tidak gentar menghadapi keperkasaan “sang raksasa” Golkar dalam menegakkan moralitas politik. Di tengah intimidasi dan peminggiran peran politik oleh kekuasaan hegemonik pemerintah Orba, PPP tetap tegar mempertahankan jati diri dan setia dalam ghirah perjuangannya menegakkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.

Akan tetapi, situasi mendadak berubah manakala Orba tumbang dan Indonesia memasuki era baru sistem politik yang menghalalkan berdirinya organisasi sosial politik. Kemunculan partai-partai baru, terutama yang berbasis massa Islam seperti PKB, PAN, PK (yang kemudian berubah PKS), dan PBB; tak pelak menjadikan PPP bukanlah satu-satunya pemain dalam lapangan politik Islam. Dalam satu sisi, PPP mendapat mitra kerja baru dalam menyuarakan aspirasi Islam; tetapi di sisi lain PPP juga masuk dalam arena kompetisi ketat dalam memperebutkan suara umat Islam. Konsekuensinya, PPP tidak lagi menjadi satu-satunya pilihan umat yang mencita-citakan berjayanya politik Islam. PPP bukan lagi kekuatan politik tunggal yang dilirik umat Islam.

Tantangan politik yang semula berhadapan vis a vis dengan kekuatan hegemonik negara, kini beralih ke arah rivalitas politik dengan parpol-parpol baru yang menjamur di era reformasi. Karena PPP adalah partai Islam, maka tantangan utama PPP bertumpu pada gerak politiknya di hadapan parpol-parpol Islam lain untuk menjadi pemain utama dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. PPP tak bisa lagi mengklaim diri sebagai satu-satunya pembawa aspirasi umat Islam karena aspirasi itu kini terpecah dalam berbagai pilar yang merefleksikan berbagai golongan dalam masyarakat Islam Indonesia.

PKB muncul sebagai representasi warga nahdliyin yang selama ini menjadi lumbung suara PPP. PAN tampil sebagai cerminan wajah warga Muhammadiyah yang pada era Orba aspirasi politiknya banyak tersalur ke PPP. PBB membangkitkan romantisme kejayaan Masyumi sebagai partai Islam besar di masa lalu. PKS menampakkan potret kaum muda muslim terdidik yang berbasis di perguruan tinggi. Beragamnya parpol Islam ini otomatis menjadikan perebutan suara umat Islam menjadi makin ketat.

Efek dari kompetisi ketat itu dapat dilihat pada Pemilu 1999 dan 2004. Hasil Pemilu 1999 menunjukkan partai-partai lama, tak terkecuali PPP –yang memperoleh 10,71% dengan 58 kursi-, mengalami kemerosotan tajam dibanding pemilu sebelumnya. Besar kemungkinan basis suara PPP direbut oleh partai-partai baru berasas Islam atau yang berafiliasi dengan organisasi massa Islam NU dan Muhammadiyah. Bahkan, yang lebih parah lagi di Jawa Timur basis PPP dibabat habis oleh PKB yang mengandalkan kekuatan jamiyah NU. Hasil ini merupakan sinyal awal tanda kegagapan PPP dalam meraba posisi politiknya di tengah konstelasi politik nasional yang makin disemarakkan kehadiran partai Islam.

Beruntung, dalam perjalanan awal reformasi, PPP masih menunjukkan taringnya sebagai kekuatan politik Islam utama. Peran aktif PPP dalam Poros Tengah yang mengantarkan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden menjadi bukti partai ini masih diperhitungkan dalam kancah politik nasional. Terlebih lagi, kepeloporan PPP dalam mengusut skandal Bulog yang melengserkan Gus Dur telah mencitrakan sebuah posisi politik PPP yang teguh menegakkan moralitas politik. Minimal, hal itu meningkatkan citra diri PPP di mata umat.

Namun, hal itu tidak berarti banyak ketika memasuki Pemilu 2004. Manakala partai-partai berbasis massa Islam lain berhasil meningkatkan perolehan suaranya, PPP tetap tidak beranjak dari 58 kursi di parlemen, bahkan secara nasional jumlah suara pemilih PPP menurun menjadi 8,15%. Geliat PPP sejak Pemilu 2004 juga semakin meredup, seakan-akan tergilas oleh akselerasi mesin-mesin politik partai lain. Kegagalan total dalam Pemilihan Presiden dan juga dalam perebutan Ketua DPR tak ayal telah semakin membawa partai ini menuju keterpinggiran peran politik.

Publik kini melihat PPP sebagai partai yang tak prospektif. PPP selalu kalah start dengan partai-partai lain dalam menyikapi isu-isu politik mutakhir. Akibatnya, publik mempertanyakan eksistensi PPP dalam kancah politik Indonesia. Indikasi itu dapat disimak dari berbagai jajak pendapat dan pemberitaan di media massa yang merefleksikan betapa tidak menariknya PPP sekarang, terlebih jika dibandingkan dengan partai berbasis massa Islam lain yang nampak lebih menjanjikan. Efek dominonya, perlahan tapi pasti, umat bisa kehilangan kepercayaan terhadap PPP.

Langkah Strategis

Tentu kondisi tidak menggembirakan itu tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Sebagai partai besar dengan pengalaman politik selama 33 tahun, sangat disayangkan jika kiprah partai warisan para ulama ini semakin terpinggirkan. Sebab, keterpinggiran peran politik PPP bisa semakin menyulitkan masuknya nilai-nilai Islam dalam kehidupan sosial politik Indonesia. Jika mengamati dasar pendirian, budaya politik serta orang-orang yang tergabung di dalamnya, PPP dapat diibaratkan sebagai miniatur masyarakat Islam Indonesia. Berbeda dengan partai Islam lain yang terbentur pada segmentasi kelompok, PPP tidak mengkotakkan diri pada golongan tertentu. Meski didominasi oleh kultur NU, hampir semua golongan masyarakat Islam Indonesia terwadahi dalam partai ini.

Namun, posisi politik ini membuat PPP seakan-akan berada di ujung jalan bercabang yang berakibat fatal pada kebingungan PPP untuk mengambil peran politik. Cabang pertama diduduki oleh PKB yang berbasiskan warga nahdliyin atau umat Islam tradisional di wilayah pedesaan. Cabang kedua ditempati PAN yang merambah wilayah perkotaan dengan menggaet muslim modern yang dekat dengan Muhammadiyah. Cabang ketiga ada PKS yang membidik kalangan muslim terdidik yang bercokol di kota-kota besar. Posisi PPP berada di setiap jengkal ujung jalan ini. Celakanya, dalam posisi ini PPP seolah kehilangan identitas politiknya sebagai partai Islam yang berpolitik amar ma’ruf nahi munkar. Jarang sekali terdengar aksi politik PPP menyikapi berbagai penyelewengan yang terjadi di negeri ini.

Karena itulah, langkah strategis yang perlu dilakukan PPP saat ini adalah menegaskan posisinya di tengah konstelasi politik nasional demi memperkokoh eksistensi dalam kompetisi ketat menarik simpati publik. Ada dua posisi yang mesti ditegaskan: posisi terhadap partai-partai lain dan posisi terhadap pemerintah.

Sebagai partai Islam, teramat sulit bagi PPP untuk merambah basis massa nasionalis. Yang masih bisa dilakukan PPP adalah menggaet massa di kalangan umat yang bersimpati pada partai Islam. Oleh sebab itu, PPP harus mengambil tempat strategis di hadapan partai-partai berbasis massa Islam. Jika PKB amat kental dengan muslim tradisional di pedesaan yang berafiliasi pada NU, dan PKS sangat erat dengan kelompok intelektual muslim yang mengakar di daerah perkotaan, PPP harus merambah semua segmen tersebut.

Paradigma lama yang mengatakan bahwa PPP adalah cermin kalangan Islam tradisional yang berbasis pedesaan sudah selayaknya disingkirkan. Paradigma baru yang harus dikembangkan adalah PPP adalah cermin masyarakat Islam Indonesia secara keseluruhan. Untuk itu, upaya yang dilakukan adalah memperluas basis di pedesaan dan merambah daerah perkotaan. Sebagai basis tradisional PPP, masyarakat pedesaan tidak boleh dibiarkan lepas. Sebaliknya, jangkauan pengaruhnya harus makin diperluas. Sementara untuk wilayah perkotaan, kalangan perguruan tinggi adalah sasaran bidik yang harus digaet, sebab di era modern ini kebutuhan terhadap kelompok intelektual terdidik dirasa semakin penting. Kaum intelektual adalah kelompok cerdas yang akan memberi warna baru di PPP. Paling tidak, kualitas akademiknya akan menambah amunisi PPP dalam merumuskan berbagai strategi untuk merespon permasalahan umat serta meningkatkan suara. Karena itu, PPP harus mulai membangun jaringan di kampus-kampus. Caranya, aktif berkomunikasi dan mengadakan kegiatan dengan kalangan kampus!

Terhadap pemerintah, PPP juga harus menegaskan posisi sebagai partai pemerintah, pendukung pemerintah, atau oposisi. Sejak SBY berkuasa, perdebatan tentang posisi ini kerap mengemuka dalam perbincangan di internal PPP. Ketika Partai Demokrat menegaskan diri sebagai partai pemerintah; Partai Golkar, PAN, PKS, PBB sebagai partai pendukung pemerintah; dan PDI-P sebagai oposisi; pertanyaan yang muncul adalah PPP ini partai apa? Hal ini mengingat PPP tidak pernah menyatakan secara tegas posisinya terhadap pemerintah. Pemikiran yang berkembang, PPP harus menjadi partai pendukung pemerintah karena tiga kadernya (Bachtiar Chamsyah, Surya Dharma Ali, dan Sugiharto) masuk dalam kabinet SBY. Meskipun demikian, suara penolakan terhadap mereka selalu nyaring terdengar hingga memunculkan wacana untuk beroposisi. Akibat dari itu, konstituen dibuat bingung dengan sikap PPP dan efeknya tingkat kepercayaan pun bisa menurun.

PPP tidak selayaknya menjadi oposisi karena kondisi sekarang tidak memungkinkan untuk mengambil sikap itu. Sikap oposisi hanya akan membenturkan kader PPP di dalam kabinet dan di luar kabinet sehingga tidak terjadi sinergisitas untuk mencapai cita-cita partai. Posisi tepat yang hendaknya diambil PPP adalah mendukung pemerintah tapi tetap berpedoman pada politik amar ma’ruf nahi munkar. Artinya, setiap kebijakan pemerintah yang menjamin kemaslahatan umat, bangsa, dan negara harus didukung; sebaliknya kebijakan yang melukai hati rakyat harus dikritisi.

Karena itu, untuk mendukung penegasan posisi di atas, PPP harus menampilkan karakter khas yang bisa dimunculkan sebagai citra politik partai. Di era informasi sekarang ini, citra politik menjadi elemen penting dalam menarik minat publik. Publik akan mengenal akrab suatu partai jika partai itu memiliki karakter khas yang membedakannya dengan partai lain. Permasalahannya, PPP belum menunjukkan karakter khasnya yang bisa dimunculkan menjadi citra politik partai. Ketiadaan karakter khas itu membuat PPP tak memiliki arah politik yang jelas. PPP mudah tergoyahkan oleh permainan politik kekuasaan. Contoh paling nyata, PPP dengan sangat mudah meninggalkan Koalisi Kebangsaan karena terbujuk rayuan kekuasaan untuk menjadi Ketua DPR. Publik tentu melihat PPP sebagai partai plin-plan yang tak bisa dipercaya. Akibatnya, citra diri PPP di mata rakyat pun kian tereduksi.

Sebagai partai Islam, karakter khas yang mesti dimunculkan PPP adalah keteguhan dalam menegakkan prinsip-prinsip moral. PPP memiliki potensi besar untuk menyuarakan penegakan nilai-nilai moral itu. Enam prinsip perjuangan yang dimiliki PPP, yakni (1) ibadah, (2) istiqomah, (3) kebenaran, kejujuran, dan keadilan, (4) musyawarah, (5) persamaan, kebersamaan, dan persatuan, serta (6) amar ma’ruf nahi munkar adalah pedoman dasar yang menjadikan PPP mempunyai energi kuat melawan tindakan-tindakan amoral. Dengan berpinsip amar ma’ruf nahi munkar, PPP harus melawan segala bentuk penyelewengan serta mendorong setiap upaya kebaikan. PPP harus bersuara lantang ketika masih banyak praktek-praktek yang mengabaikan nilai-nilai moral bergentayangan di republik ini. Konstituen menunggu respon PPP terhadap kasus percaloan anggaran, korupsi di berbagai institusi, perjudian togel, narkoba, menjamurnya nilai-nilai Barat dalam tayangan televisi, maraknya media porno, menggejalanya praktik seks bebas di kalangan anak sekolah, dan lain-lain. Yang lebih penting lagi, upaya amar ma’ruf nahi munkar itu harus diperkuat dengan prinsip istiqomah dan ibadah. Segala yang dilakukan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah Swt, dan dijalankan secara konsisten.

Dengan begitu, identitas politik Islam yang menuntut penganutnya untuk mengikutsertakan akhlak, etika, dan moral dalam sikap dan tindakannya akan melekat erat pada PPP. Masyarakat akan melihat PPP sebagai sosok partai yang memiliki keteguhan terhadap komitmen moral dan menempatkan PPP pada posisi yang jauh berbeda dengan partai lain. Sehingga, yang muncul kemudian adalah rakyat –terutama umat Islam- akan memalingkan mukanya kepada PPP.

Untuk melaksanakan itu semua, PPP memiliki modal yang amat cukup. Dibandingkan dengan partai Islam lain, PPP memiliki kekuatan yang lebih kokoh. PPP adalah partai Islam terbesar dengan pengalaman politik paling panjang. Jaringannya telah tersebar di seluruh Indonesia dan mengakar sampai tingkat ranting. Karakternya sebagai kekuatan politik Islam telah terbentuk melalui enam prinsip perjuangan dan lima khidmat partai. Tinggal sekarang bagaimana PPP cerdik menangkap peluang yang nampak di depan mata bahwa bangsa ini membutuhkan kehadiran partai politik yang teguh dan berkomitmen menyuarakan moralitas di tengah memudarnya nilai-nilai moral dalam kehidupan umat, bangsa, dan negara.

Momentum Muscab dan Muswil yang kini berlangsung di berbagai daerah serta Muktamar awal 2007 nanti merupakan saat yang tepat untuk menegaskan keberpihakan PPP terhadap komitmen moral itu. Dan, semuanya berpulang pada diri kita, kader PPP di seluruh nusantara, bisakah kita melaksanakan itu? Yang pasti, bagi saya tidak ada alasan untuk tidak bisa melakukan itu. Kalau di masa lalu PPP dapat tampil di garda terdepan dalam menggelorakan moralitas, kenapa sekarang tidak?

A. Hafidz Ma’soem,

Ketua DPP PPP dan Anggota Komisi X DPR RI

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda