Selasa, 07 Juli 2009

PPP di Ujung Jalan Bercabang

Refleksi 33 tahun PPP

Hari ini, 5 Januari 2006, PPP memperingati ulang tahunnya yang ke-33. Sebagai partai yang memiliki pengalaman politik selama tiga dekade lebih, PPP semestinya memiliki kematangan dalam menentukan sikap di tengah fluktuasi politik nasional. Namun, kenyataan yang terjadi tidaklah seperti itu. Menapaki usia 33 tahun, PPP malah mengalami kegagapan dalam memperkokoh eksistensi politiknya di tengah kompetisi ketat antar parpol. PPP mengalami kebingungan dalam menempatkan posisinya secara strategis di hadapan kekuatan-kekuatan politik lain, terutama partai berbasis massa Islam.

Kondisi semacam itu sebenarnya telah mulai terjadi sejak iklim politik memasuki era demokratisasi. Efek reformasi yang menghalalkan kemunculan partai-partai baru telah menggiring PPP masuk dalam persaingan yang teramat ketat. Tantangan politik yang semula berhadapan vis a vis dengan kekuatan hegemonik negara di era Orba, kini beralih ke arah rivalitas politik dengan parpol-parpol baru yang menjamur di era reformasi.

Karena PPP adalah partai Islam, maka tantangan utama PPP bertumpu pada gerak politiknya di hadapan parpol-parpol Islam lain atau yang berafiliasi dengan organisasi Islam untuk menjadi pemain utama dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. PPP tak bisa lagi mengklaim diri sebagai satu-satunya pembawa aspirasi umat Islam –seperti yang terjadi pada era Orba- karena aspirasi itu kini terpecah dalam berbagai cabang yang merefleksikan berbagai golongan dalam masyarakat Islam Indonesia.

Cabang pertama diduduki oleh PKB yang berbasiskan warga nahdliyin atau umat Islam tradisional di wilayah pedesaan. Cabang kedua ditempati PAN yang merambah wilayah perkotaan dengan menggaet muslim modern yang dekat dengan Muhammadiyah. Cabang ketiga ada PKS yang membidik kalangan muslim terdidik yang bercokol di kota-kota besar. Posisi PPP berada di setiap jengkal ujung jalan ini. Celakanya, dalam posisi ini PPP seolah kehilangan identitas politiknya sebagai partai Islam yang berpolitik amar ma’ruf nahi munkar. Jarang sekali terdengar aksi politik PPP menyikapi berbagai penyelewengan yang terjadi di negeri ini. Posisi politik ini membuat PPP seakan-akan berada di ujung jalan bercabang yang berakibat fatal pada kebingungan PPP untuk mengambil peran politik.

Karena itulah, langkah strategis yang perlu dilakukan PPP saat ini adalah menegaskan posisinya di tengah konstelasi politik nasional demi memperkokoh eksistensi dalam kompetisi ketat menarik simpati publik. Ada dua posisi yang mesti ditegaskan: posisi terhadap partai-partai lain dan posisi terhadap pemerintah.

***

Sebagai partai Islam, teramat sulit bagi PPP untuk merambah basis massa nasionalis. Yang masih bisa dilakukan PPP adalah menggaet massa di kalangan umat yang bersimpati pada partai Islam. Oleh sebab itu, PPP harus mengambil tempat strategis di hadapan partai-partai berbasis massa Islam. Jika PKB amat kental dengan muslim tradisional di pedesaan yang berafiliasi pada NU, dan PKS sangat erat dengan kelompok intelektual muslim yang mengakar di daerah perkotaan, PPP harus merambah semua segmen tersebut.

Paradigma lama yang mengatakan bahwa PPP adalah cermin kalangan Islam tradisional yang berbasis pedesaan sudah selayaknya disingkirkan. Paradigma baru yang harus dikembangkan adalah PPP adalah cermin masyarakat Islam Indonesia secara keseluruhan. Untuk itu, upaya yang dilakukan adalah memperluas basis di pedesaan dan merambah daerah perkotaan. Sebagai basis tradisional PPP, masyarakat pedesaan tidak boleh dibiarkan lepas. Sebaliknya, jangkauan pengaruhnya harus makin diperluas. Sementara untuk wilayah perkotaan kalangan perguruan tinggi adalah sasaran bidik yang harus digaet, sebab di era modern ini kebutuhan terhadap kelompok intelektual terdidik dirasa semakin penting. Kaum intelektual adalah kelompok cerdas yang akan memberi warna baru di PPP. Paling tidak, kualitas akademiknya akan menambah amunisi PPP dalam merumuskan berbagai strategi untuk merespon permasalahan umat serta meningkatkan suara. Karena itu, PPP harus mulai membangun jaringan di kampus-kampus. Caranya, aktif berkomunikasi dan mengadakan kegiatan dengan kalangan kampus!

Terhadap pemerintah, PPP juga harus menegaskan posisi sebagai partai pemerintah, pendukung pemerintah, atau oposisi. Sejak SBY berkuasa, perdebatan tentang posisi ini kerap mengemuka dalam perbincangan di internal PPP. Ketika Partai Demokrat menegaskan diri sebagai partai pemerintah; Partai Golkar, PAN, PKS, PBB sebagai partai pendukung pemerintah; dan PDI-P sebagai oposisi; pertanyaan yang muncul adalah PPP ini partai apa? Hal ini mengingat PPP tidak pernah menyatakan secara tegas posisinya terhadap pemerintah. Pemikiran yang berkembang, PPP harus menjadi partai pendukung pemerintah karena tiga kadernya (Bachtiar Chamsyah, Surya Dharma Ali, dan Sugiharto) masuk dalam kabinet SBY. Meskipun demikian, suara penolakan terhadap mereka selalu nyaring terdengar hingga memunculkan wacana untuk beroposisi. Akibat dari itu, konstituen dibuat bingung dengan sikap PPP dan efeknya tingkat kepercayaan pun bisa menurun.

PPP tidak selayaknya menjadi oposisi karena kondisi sekarang tidak memungkinkan untuk mengambil sikap itu. Sikap oposisi hanya akan membenturkan kader PPP di dalam kabinet dan di luar kabinet sehingga tidak terjadi sinergisitas untuk mencapai cita-cita partai. Posisi tepat yang hendaknya diambil PPP adalah mendukung pemerintah tapi tetap berpedoman pada politik amar ma’ruf nahi munkar. Artinya, setiap kebijakan pemerintah yang menjamin kemaslahatan umat, bangsa, dan negara harus didukung; sebaliknya kebijakan yang melukai hati rakyat harus dikritisi.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda