Selasa, 07 Juli 2009

NU dan Parpol

Dua hal menarik dalam perbincangan politik NU yang terjadi akhir-akhir ini adalah, konflik di tubuh PKB yang berujung pada retaknya hubungan antara Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzadi; serta desakan beberapa elite NU, yang dikomandani Yusuf Hasyim dan Asnawi Latif untuk menjadikan NU sebagai Parpol.

Berbeda dengan konflik internal PKB yang tidak pada tempatnya saya berkomentar, desakan agar NU menjadi parpol tentu harus dikaji melalui pertimbangan matang antara mashlahat dan mudharatnya. Pasalnya, dalam konteks politik-lah NU kerapkali mengalami “kecelakaan kesejarahan”. Tidak saja yang melibatkan negara sebagai institusi politik, tetapi juga dalam lingkup internal yang melibatkan NU sebagai jam’iyah.

Arus besar pikiran elite NU saat ini memang lebih cenderung menginginkan NU berubah menjadi parpol, atau setidaknya mempunyai parpol induk, seperti saat ini : PKB. Sangat langka mendapatkan elite NU yang tetap berfikir dalam keutuhan jam’iyah dan memposisikan khittah sebagai bingkai dalam aktivitas perjuangan kulturalnya. Jika harus menyebut nama, hanya sedikit tokoh sentral NU yang tetap konsisten menjaga NU dalam wacana kulturalnya, diantaranya K.H. Sahal Mahfudz untuk golongan tua, dan Ulil Abshor Abdalla untuk tokoh mudanya.

Desakan untuk menjadikan NU sebagai parpol bukan tanpa sebab. Gejala itu sudah terekam sejak kegagalan PKB mempertahankan Gus Dur sebagai presiden. Apalagi kemudian muncul pertikaian di tubuh PKB yang tak kunjung usai, sementara beberapa parpol berbasis massa NU lain seperti PKU dan PNU tak dapat memberi kontribusi signifikan dalam percaturan politik nasional maupun kemashlahatan bagi jam’iyah NU.

Jatuhnya Gus Dur disusul konflik terbuka PKB yang kemudian menyeret perselisihan antara Gus Dur dan Hasyim Muzadi dalam mensikapi permasalahan politik NU; makin menampakkan potret buram politik NU. Bahkan Salahudin Wahid sendiri menilai bahwa kondisi yang dihadapi NU dalam kehidupan politik saat ini adalah yang terburuk sepanjang perjalanan sejarah NU yang sudah berusia 75 tahun lebih. Dan potret politik NU yang buram inilah yang menjadikan beberapa elite NU berpendapat perlunya menjadikan NU sebagai parpol.

Persoalannya, apa pantas NU dijadikan Parpol ? Bukankah eksperimentasi PBNU dalam mendirikan PKB bisa dikatakan gagal dan makin memperpecah ukhuwah islamiyah di kalangan internal NU sendiri. Jika kemudian, NU menjadi parpol, apakah kita tega kembali melihat konflik horizontal yang terjadi seperti pemilu 1999, antara pendukung PKB dan PPP, yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur; hanya karena yang satu terlahir sebagai “telor” dan lainnya “ghoiru telor” – nya NU ?

Sejenak perlu kita ingat kembali proses gerakan NU masa-masa kembali ke khittah pasca 1984. Kala itu, dalam gerakan kulturalnya dinamika NU diakui dunia internasional. Bahkan, sifat tradisionalitas NU dalam hal pemikiran jauh lebih maju dibandingkan kelompok muslim modernis yang saat itu justru mengalami proses stagnasi. Demikian juga halnya wilayah kulturalnya, NU menjadi motor gerakan yang dapat memberi kemashlahatan tak hanya bagi jam’iyah NU sendiri, namun juga kelompok muslim, bahkan komunitas non muslim.

Masalah-pun timbul saat euphoria politik muncul seiring dengan era keterbukaan yang membolehkan semua warga negara membentuk parpol. Tuntutan beberapa elite NU yang gerah untuk segera berkiprah dalam dunia politik membuat NU secara jam’iyah perlahan mengalami set back, jika tak boleh dikatakan harakiri atas proses kultural yang selama ini telah dilakukan. Energi yang luar biasa dikeluarkan hanya untuk mensupport PKB dan mendukung kepemimpinan Gus Dur, menjadikan dominasi gerakan kultural yang sebelumnya serius menjadi bidang garapan NU, mulai terabaikan.

Elite dan mayoritas jam’iyah NU terseret luar biasa dalam pergulatan politik yang memposisikan Gus Dur sebagai motornya. Beberapa warga NU yang kecewa dengan jatuhnya Gus Dur di Jatim dan Jateng bahkan dengan anarkhis tega melakukan pengrusakan kantor-kantor partai, lembaga pendidikan non NU, dan fasilitas umum lainnya. Kesemuanya itu makin memperkuat pandangan bahwa NU merupakan organisasi tradisional yang radikal. Dan tentu, ini potret buram politik NU yang sungguh sulit untuk tegak kembali. Karena sangat mungkin, publik sudah trauma dengan pemerintahan model NU ( dibawah kepemimpinan Gus Dur) yang lebih cenderung bersifat tak akomodatif, arogan, dan mengabaikan tata krama berpolitik yang santun.

Lantas, apakah tetap elite NU memaksakan diri menjadikan NU sebagai parpol, ketika publik sudah trauma dengan model pemerintahan Gus Dur ? Sebenarnya, yang harus dipahami oleh elite NU, akar masalah yang mengakibatkan jatuhnya popularitas NU dalam bidang politik adalah ketidakkonsistenannya dalam menjaga khittah 1926. Khittah 1926 agaknya hanya dipakai sebagai asesoris bagi perjuangan kultural NU, di tengah sebagaian besar elite-nya justru melangkah pada area politik.

Padahal, yang seharusnya, khittah harus dipahami sebagai pijakan atas perjuangan NU di masyarakat. Pilihan akan perjuangan kultural tentu bukan tanpa sebab. Perjuangan kultural adalah gerakan real ke masyarakat yang justru menjadi motor gerakan membangun masyarakat madani, yang jelas jauh dari intrik politik. Dan ini jelas lebih dibutuhkan oleh jam’iyah NU.

Kalaupun NU tetap berkeinginan membentuk parpol; sudahlah cukup satu saja, PKB ! Namun demikian, posisikan PKB layaknya PAN dengan Muhammadiyah. Artinya, struktur NU dari tingkat pusat hingga paling bawah harus dibuat garis demarkasi yang tegas dengan kepengurusan PKB. Karena, bila dipahami secara kasat mata, konflik yang saat ini terjadi di tubuh NU muaranya sederhana. Pada satu sisi, PKB minta disusui terus oleh NU, sementara disisi lain NU ingin melakukan purifikasi diri dalam kerangka khittah 1926.

Tentunya semua sikap diserahkan pada elite PBNU dan para kyai khos NU, kemana NU harus menuju ! Menjadi bagian pusaran politik yang memungkinkannya larut dalam politik praktis atau melakukan reposisi peran kembali ke arah kultural.

Sebenarnya adanya pluralitas warga NU yang melakukan afiliasi politik di berbagai parpol merupakan sebuah rahmat yang patut disyukuri. Yang penting, bagaimana afiliasi politik tersebut dapat menjadi instrumen untuk memperjuangkan kepentingan warga NU. Contoh nyata telah dibuktikan oleh Poros Tengah. Tak mungkin dinafikan, bahwa Poros Tengah adalah kumpulan politisi NU ( disamping tentu beberapa elemen komunitas Islam) yang mempunyai komitmen yang sama – saat itu – dalam mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden. Tanpa Poros Tengah, hampir mustahil PKB sempat menikmati label sebagai partai pemerintah !

Untuk itulah, seharusnya yang digagas bukanlah menjadikan NU sebagai parpol, namun justru meningkatkan kerjasama antar politisi NU demi kepentingan jam’iyah NU. Meski, hingga saat ini banyak pandangan yang menilai bahwa keutuhan dalam membuat komitmen yang sama antar politisi NU yang tersebar di berbagai parpol adalah utopia, namun itu jelas bukan harga mati. Mengapa tidak dari sekarang PBNU melakukan upaya-upaya demi terjalinnya komunikasi antar politisi NU yang tersebar di parpol ? Bukankah, secara ukhuwah itu lebih baik ketimbang mendirikan parpol yang justru menambah masalah baru.

Dengan sandaran itu saja sebenarnya kebutuhan akan parpol NU menjadi tak relevan dengan sendirinya. Karena, yang terpenting bukanlah wadah, namun proses dalam mengantarkan jam’iyah NU dalam kemashlahatan yang lebih baik. PBNU, harus sesegera mungkin berinisiatif menjadi media bagi terjalinnya komunikasi antar politisi NU. PBNU juga harus tetap berposisi netral sebagai pengayom dan mengembalikan NU dalam rel kultural. Karena dengan posisi itulah, NU seharusnya berperan. Yang penting bagaimana parpol yang kini ada dapat dijadikan media bagi politisi NU untuk memberi kemashlahatan bersama. Dan satu langkah penting yang perlu dilakukan oleh PBNU adalah bagaimana menjadi jembatan bagi warga NU yang berbeda secara politik. Bukan malah mem back-up parpol tertentu.

Akhirnya, semua catatan diatas hanyalah sebuah pengamatan sederhana, yang mungkin masih jauh dari kebenaran. Perlu kelapangan dada dan sikap bijaksana dalam menanggapinya. Wallahu a’lam

Jombang, 23 Mei 2002

A Hafidz Ma’soem

Politisi NU, Mantan Ketua PMII Yogyakarta

Ketua DPW PPP Jawa Timur

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda