Selasa, 07 Juli 2009

Konflik PPP: Gagalnya Pelembagaan Proses Politik

Dua hal menarik yang muncul dalam dinamika politik internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang terjadi akhir-akhir ini ialah lahirnya PPP Reformasi (PPPR) dan upaya beberapa politisi muda PPP untuk mendorong terlaksananya Muktamar V partai pada tahun 2003.

Berbeda dengan lahirnya PPPR, yang bagi sebagian besar simpatisan PPP lebih dianggap sebagai respon kekecewaan beberapa kader PPP yang gagal mendudukkan K.H. Zainuddin MZ sebagai Ketua Umum, aksi beberapa politisi muda PPP yang mendorong pelaksanaan Muktamar V partai pada 2003 lebih merupakan upaya mengembalikan pelembagaan proses politik dalam konstitusi partai yang seharusnya.

Meski demikian, tak pelak kedua dinamika politik internal tersebut telah mengarah pada terjadinya konflik terbuka yang berakibat pada bayang-bayang pecahnya PPP menjadi tiga. Lihat saja, belum sempat perbincangan politik usai setelah kelahiran PPPR, yang hari-hari ini tengah me-lounching beberapa Pimpinan Wilayah dan Cabang; beberapa politisi muda PPP bahkan sudah menggagas perlunya dibentuk PPP Konstitusi, sebagai respon atas sikap DPP PPP yang tetap kukuh untuk melaksanakan Muktamar V Partai pada tahun 2004.

Dari kecenderungan yang demikian, nampak ada indikasi bahwa meredanya konflik unsur yang seringkali muncul di saat pra muktamar atau saat pembagian jabatan strategis di lembaga legislatif, telah bergeser pada konflik seputar siapa yang berhak memegang kendali partai pada pertarungan Pemilu 2004. Apa sebab ? Karena, Pemilu 2004 diyakini sebagai momentum paling tepat bagi pemegang kekuasaan partai untuk menentukan masa depan karir politiknya. Sehingga wajar, waktu penyelenggaraan Muktamar V menjadi target utama dari semua politisi partai yang berhasrat menduduki posisi Ketua Umum dan Sekjen. Asal tahu, pemegang posisi puncak di partai manapun adalah posisi strategis yang akan turut menentukan siapa Calon Presiden, Ketua DPR/MPR, dan jajaran menteri di kabinet pasca Pemilu 2004 !

Fenomena dalam dinamika politik internal PPP diatas, disatu sisi dapat berarti bahwa proses demokratisasi dalam PPP berlangsung lebih lugas dan terbuka; namun disisi lain merupakan cermin dari gagalnya DPP PPP dalam melakukan pelembagaan proses politik internal partai. Kecenderungan munculnya tuntutan untuk membuat partai baru di tubuh PPP, yang ditunjukkan oleh PPPR dan kemudian “PPP Konstitusi” merupakan bukti bahwa DPP PPP telah gagal melakukan akomodasi politik atas kader-kadernya. Jika hal ini tak segera dibenahi, tentu perpecahan dalam konteks yang lebih luas akan segera terjadi, dan jelas akan merugikan PPP sendiri.

Satu contoh, simak saja proses kelahiran PPPR. Sejak embrio pembentukan hingga lahirnya PPPR telah berdampak pada terjadinya desersi politik yang dilakukan oleh kader-kader potensial PPP. Sebut saja, misalnya; Zainuddin MZ, Shaleh Khalid, Zaenal Maarif, Ghazali Abbas Addan, Syamsu Rizal, dan Soultan Saladin yang kini tengah gencar-gencarnya mengibarkan bendera PPPR, tentu tak bisa dikatakan sebagai kader aventurir semata. Belum lagi yang terjadi di Pimpinan Wilayah dan Cabang, yang sedikit banyak juga mengalami goncangan atas hengkangnya beberapa kadernya. Kondisi ini tak pelak akan merembet pula pada konstituen partai, yang tak mempunyai loyalitas penuh pada PPP.

Lantas, jika kini muncul dorongan untuk melaksanakan Muktamar V Partai tahun 2003, akankah DPP PPP tetap akan menganggap ini sebagai “kutu kecil” yang tak pantas di tanggapi ? Jika, jawabnya Ya, dapat dipastikan bahwa jajaran elite di DPP PPP tengah berupaya untuk melanggengkan status quo demi kepentingan pribadi dengan menyingkirkan kebutuhan demokratisasi internal partai. Dan, jika bentuk konservatisme PPP ini masih dipertahankan, bukan tidak mungkin PPP akan dijauhi massa, khususnya kelompok muda yang haus akan pembaharuan. Jika ini yang diinginkan oleh elite DPP PPP, jelas citra sebagai partai tradisional dan konservatif makin melekat di tubuh PPP. Lantas, akankah PPP sekedar mempertahankan coptive voters (pemilih setia) saja, di tengah era multi partai yang mempunyai kecenderungan makin meningkatnya floating mass (massa mengambang) ? Yakin, semua kader PPP sependapat, bahwa kita tak ingin itu terjadi!

Memang, kekecewaan beberapa kader partai terhadap ngototnya DPP PPP untuk mengagendakan Muktamar V dilaksanakan tahun 2004 seperti Zarkasih Noer, Zain Badjeber, Yudo Paripurno, Yusuf Syakir, Faisal Ba’asir, Karmani, Anwar Sanusi dan sejumlah kader muda lainnya sebenarnya tak perlu dirisaukan. Persoalan menjadi lain, jika suara mereka tak terakomodasi, sementara beberapa politisi muda makin gencar untuk mengkampanyekan perlunya dibentuk “PPP Konstitusi”. Jika gerakan ini bersambut, dalam jangka pendek dapat dipastikan akan memunculkan pengotakan di tubuh DPP PPP yang justru merugikan partai dalam merebut simpati massa demi kepentingan Pemilu 2004. Dan, tentu, bukan tidak mungkin gerakan arus bawah dari DPW dan DPC justru makin gencar untuk perlunya dilakukan reformasi total di tubuh DPP PPP. Karena, bukankah jika elite DPP lebih sibuk bertikai untuk memperebutkan kekuasaan, akan lebih baik dilakukan regenerasi kepada kader-kader yang lebih muda dan potensial, yang tentu sangat mudah didapatkan di tubuh PPP.

Akar Masalah.

Jika disimak, akar masalah munculnya konflik di tubuh PPP tak bisa dilepaskan pada blunder atas keputusan politik yang dibuat oleh elite PPP sendiri. Sekedar kilas balik, pada Muktamar IV 1998 telah diputuskan bahwa DPP PPP diberi mandat kepengurusan hingga awal Desember 2003. Artinya DPP PPP periode 1998-2003 mempunyai mandat pula untuk memenangkan satu kali pemilu pada tahun 1999. Artinya, jika parameter Pemilu yang digunakan sebagai sukses tidaknya sebuah organisasi politik, berarti hasil Pemilu 1999 merupakan parameter terpercaya untuk menilai apakah DPP PPP sukses ataukah tidak ? Jika skala nasional yang dijadikan patokan, semua sepakat bahwa DPP PPP telah berhasil, dengan indikator perolehan posisi ketiga nasional. Namun, apakah penilaian skala nasional dapat dijadikan ukuran kesuksessan ? Lantas, bagaimana dengan program kerja partai, kualitas SDM di parlemen dan eksekutif, dan pola relasi pemberdayaan antara pusat – wilayah – cabang. Bukankah hal tersebut juga merupakan persoalan krusial yang perlu dipecahkan untuk menjawab tantangan dalam era multi partai ?

Ironisnya, perolehan posisi PPP sebagai nomor tiga nasional Pemilu 1999 justru melahirkan euphoria di antara sebagian elite DPP PPP. Bahkan terwujudnya keinginan beberapa elite partai untuk menduduki posisi strategis di eksekutif makin menjadikannya enggan untuk berpikir reformis bagi demokratisasi partai. Karena, bagi mereka yang duduk nyaman di eksekutif dan kursi empuk legislatif, tentu akan berfikir; jika kekuasaan sudah diraih, untuk apa dilepaskan ? Bukankah lebih baik untuk dilanggengkan ? Dan, itulah jalan pikiran yang kini ada di beberapa elite PPP yang menginginkan Muktamar V dilaksanakan pasca Pemilu 2004. Karena, dengan begitu, elite PPP yang kini menduduki posisi strategis, jelas akan berpeluang untuk mengatur penempatan orang-orang di Eksekutif dan Legislatif, dan tentu Calon Presiden. Jika sudah demikian, bukankah kader-kader muda PPP yang potensial harus kembali gigit jari.

Itulah mengapa Mukernas II pada tanggal 13-14 Oktober 2001 telah sengaja dibelokkan kepentingannnya oleh DPP PPP untuk menunda agenda Muktamar V sampai pasca Pemilu 2004. Adanya rekayasa dalam keputusan Mukernas II itu tak lain demi kelenggengan kekuasaan elite DPP PPP sekarang. Apalagi arus besar partai politik di Indonesia sama-sama pasang strategi lebih awal untuk meraih kemenangan Pemilu 2004. Dengan dasar persiapan Pemilu 2004, DPP PPP menjustifikasi bahwa partai harus siap sedini mungkin dalam menyambut perhelatan akbar pemilu tersebut. Sehingga, pantas kiranya Muktamar ditunda. Karena muktamar akan mengganggu konsolidasi internal partai ! Kalimat ini yang seringkali terucap demi menjustifikasi kepentingan pelanggengan kekuasaan. Padahal, jika mengacu Muktamar IV, bukankah mandat yang diberikan muktamirin hanya memenangkan satu kali pemilu, tahun 1999 ?

Dengan penundaan Muktamar V pasca Pemilu 2004, berarti melewati akhir masa bakti kepengurusan partai. Lantas, adakah dasar legitimasi kepengurusan partai hasil Muktamar IV 1998 setelah Desember 2003? Jawabnya jelas tidak ada. Dengan demikian, nampak sekali jika keputusan Mukernas II bertentangan dengan hasil keputusan Muktamar IV. Padahal, Mukernas adalah instansi pengambilan keputusan tertinggi partai setelah Muktamar, yang pada prinsipnya penjabaran secara konkret hasil-hasil Muktamar !

Kondisi inilah yang merisaukan sejumlah kader partai, yang kerapkali menuntut upaya pelembagaan proses politik secara konstitusional di PPP. Jika hasil Muktamar saja dapat dianulir oleh Mukernas, bisa jadi upaya untuk menegakkan partai dalam bingkai kehidupan politik yang konstitusional akan sia-sia belaka. Karena, bagaimana mungkin kita berteriak atas nama reformasi, sementara di kalangan internal saja kita masih hijau dalam demokrasi. Bagaimana mungkin kita menuntut orang lain untuk melakukan pembatasan jabatan publik, sementara di antara elite partai enggan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan.

Hal-hal inilah yang menjadi akar masalah sehingga PPP Reformasi lahir, dan perpecahan babak baru pun segera dimulai, dengan munculnya gagasan “PPP Konstitusi”. Jika tidak dieliminasi dan ditanggapi secara bijak, tak perlu heran jika tuntutan perubahan yang lebih mendasar dalam tubuh DPP PPP akan makin keras disuarakan oleh daerah.

Konflik yang terjadi di tubuh PPP tersebut jelas makin menambah potret buram partai politik Islam secara keseluruhan. PPP sebagai metamorfose partai Islam seakan kembali mengulang konflik yang selalu saja terjadi pada partai Islam selama Orde Lama yang direpresentasikan Masyumi maupun saat Orde Baru. Ironisnya kini aroma konflik murni perebutan kepentingan, bukan masalah primordial. Persaingan yang membentuk pengkubuan di PPP tidak lagi didasarkan pada unsur-unsur primordial atau politik aliran. Yang terjadi di sini justru pembuktian atas pameo: "tidak ada kawan abadi di dalam politik, juga musuh abadi; yang ada adalah kepentingan abadi."

Solusi

Tentu semua kita berharap bahwa perbedaan pandangan dalam menentukan jadwal Muktamar V, yang kini dianggap sebagai biang perpecahan, dapat diatasi secara dewasa dengan pikiran jernih. Masalahnya sekarang, apakah elite PPP yang duduk di Pengurus Pusat bersedia untuk berdialog secara terbuka, dewasa, dan jernih memandang persoalan partai ? Apakah sejumlah elite DPP PPP yang bersikukuh untuk mempertahankan keputusan Mukernas II dengan menunda Muktamar V sampai pasca Pemilu 2004 dengan beberapa kader PPP yang mengingkan tetap berpegang teguh pada keputusan Muktamar IV bersedia untuk duduk dalam satu meja memperbincangkan masa depan partai, yang hingga kini masih dipercaya menjadi representasi perjuangan politik umat Islam ?

Pemahaman yang sama atas kondisi obyektif partai serta kemauan untuk berjalan beriringan dalam mengayuh masa depan partai secara bersama tentu merupakan modal kuat bagi PPP untuk dapat meraih sukses. Dan sangat absurd jika elite partai harus pecah hanya mempermasalahkan jabatan, kekuasaan, dan harta yang sangat kecil artinya di sisi Allah SWT.

Bukankah sebagai Partai Islam, tuntutan untuk menjaga jati diri dan citra sebagai institusi penegak nilai-nilai moral Islam dan kebenaran menjadi tujuan utama kita dibandingkan mengejar kekuasaan semata. Untuk itu, proses politik yang saat ini terjadi harus disadari sebagai proses pendewasaan kita menuju partai Islam modern.

Dan, sebagai parpol yang tegas-tegas memposisikan Islam sebagai landasan geraknya, sudah barang tentu pelembagaan proses politik harus pula dilaksanakan dengan bingkai moral agama dan konstitusional. Dengan demikian, perdebatan akan jadwal Muktamar V pun harus dilandasi oleh keberadaan konstitusi partai, moral agama, dan kemashlahatan bersama. Mana yang lebih penting, dan mahslahat, antara menyelenggarakan Muktamar V pasca Pemilu 2004 ataukah pada tahun 2003 ? Penentuan atas kedua pilihan tersebut harus tetap dibicarakan dalam suasana ukhuwah islamiyah.

Tak perlu lagi ada pemaksaan kehendak oleh elite DPP PPP ataupun beberapa kader muda partai yang berseberangan dalam menentukan jadwal Muktamar V. Bahkan kalau perlu, digelarnya Mukernas III tahun 2002 tak hanya membahas agenda masalah untuk ST MPR 2002, tetapi juga perlu tidaknya merevisi jadwal Muktamar V.

Tentu, dalam konteks praktek politik, kondisi diatas sangat merisaukan; tidak saja karena sekarang adalah era multi partai, yang memposisikan massa mengambang menjadi begitu dibutuhkan oleh parpol. Namun juga, saat ini adalah era keterbukaan yang memberikan ruang gerak yang longgar kepada rakyat untuk menentukan pilihan. Lantas, jika PPP tetap berkutat dengan masalah politik internal yang tak segera berkesudahan, apakah rakyat masih bersedia untuk menentukan pilihannya pada partai berlambang Ka’bah ini ?

Dalam kondisi seperti ini, wajar jika kita diingatkan kembali pada slogan terkenal yang digagas Nurcholish Madjid, “ Islam Yes, Partai Islam No!”. Karena, dengan kondisi diatas saja, umat Islam akan memandang bahwa partai Islam telah gagal menampilkan citra politik Islam yang simpatik dan santun. Para kadernya telah terjebak pada politik rendahan berupa perebutan kekuasaan yang ironisnya lebih didoraong oleh kepentingan pribadi.

Dengan perjalanan politik PPP yang penuh aroma konflik ini, makin memperlihatkan bahwa demokrasi masih menjadi pelajaran dasar yang perlu terus dikembangkan di tingkat intern partai. Karena, jika pada tingkat intern saja PPP, masih punya persoalan dengan demokrasi, bagaimana memenuhi tuntutan demokratisasi yang kian hari kianmenguat? Tentu, semua kembali berpulang pada kita sebagai kader partai yang memiliki nurani dan menginginkan bahwa keberadaan Partai Islam, khususnya PPP adalah media politik terpercaya bagi artikulasi serta pembawa aspirasi umat. Wallahu’alam

Jombang, 22 April 2002

A. Hafidz Ma’soem

Ketua DPW Partai Persatuan Pembangunan, JAWA TIMUR

Alamat Rumah :

Jl. Sisingamangaraja I / 82 Jombang 61417

Telp/Fax. (0321) 862308

HP ; 08123141231

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda