Selasa, 07 Juli 2009

Strategi dan Arah Kebijakan PPP Menuju Pemilu 2009


Pemilu 2009 masih beberapa tahun lagi, setiap peserta telah menyiapkan bermacam-macam jurus dan strategi untuk berlaga demi meraih predikat juara. Begitupun Pemilu, setiap kontestan jauh hari telah menyiapkan strategi dan membentuk lembaga pemenangan. Dan, bagi sebuah parpol, perencanaan adalah kebutuhan mutlak yang menjadi agenda utama. Karena, Pemilu-lah indikator paling representatif yang dapat dijadikan acuan apakah parpol tersebut diminati rakyat atau tidak. Pemilu juga hingga kini masih dipercaya sebagai media efektif untuk meraih kekuasaan politik secara sah dan konstitusional.
Ironisnya, saat ini justru banyak parpol mengalami konflik internal serius. Bahkan beberapa diantaranya saling bersitegang dan menciptakan instabilitas demokrasi. Jika diamati, terlihat ketidakmampuan parpol dalam menciptakan tertib politik. Dalam batas itu saja, dapat dibaca bahwa sesungguhnya parpol belum siap berlaga dalam kontes Pemilu, demi untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat. Sebab, jangankan memperjuangkan aspirasi dan menyelesaikan persoalan masyarakat, menyelesaikan persoalan internalnya saja tidak mampu. Apalagi sampai detik ini rakyat makin ragu akan konsistensi parpol dalam memperjuangkan aspirasinya.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sendiri tengah mengalami gejala serupa. Disamping tengah mengalami friksi internal yang berujung pada desersi para kadernya untuk membentuk PBR, eksistensi partai sebagai pijakan perjuangan umat Islam perlahan juga tergerus. Benih-benih ketidakkonsistenan dalam memperjuangkan demokrasi dan moral agama mulai nampak. Itu ditunjukkan dengan perilaku politik menghalalkan segala cara yang dicerminkan oleh beberapa kader PPP di legislatif dalam bentuk permainan politik uang (money politic), maupun berpolitik demi kepentingan pribadi.
Memang, contoh diatas tak bisa digeneralisir pada semua pihak, namun tentu ini adalah beban yang tak mungkin ditanggalkan. "Terjerumusnya" kader-kader PPP dalam upaya penciptaan instabilitas demokrasi harus segera diakhiri. PPP harus mulai berikhtiar kembali untuk berdiri pada barisan terdepan bagi tegaknya tertib politik dalam koridor konstitusional.
Sebagai Partai Islam, tidak bisa tidak, kader-kader PPP sejatinya menjaga citra dan jati diri partai dengan cara-cara berpolitik yang santun, ramah dan beradab. Karena, dengan perilaku itulah, moral agama yang selama ini selalu diusung PPP dalam alam demokrasi yang berjalan tidak sehat dapat tetap kokoh berdiri. Harus dipahami, pemosisian sikap seperti itu merupakan investasi politik mahal bagi kokohnya eksistensi partai di masa depan.
Tentu, dengan menyadari kondisi riil politik seperti diatas, akan memudahkan PPP dalam memahami dan berhitung dalam kontes pemilu 2009. Persoalannya, apakah dalam diri kader-kader PPP mempunyai komitmen kuat untuk tetap konsisten memposisikan PPP sebagai wadah aspirasi umat yang terpercaya? Jika jawabnya, Ya; adakah strategi dan arah kebijakan yang dapat menghantarkan PPP, sebagai Partai Islam yang mampu memberi kontribusi sekaligus artikulator kepentingan rakyat? Jawaban kembali berpulang pada kader-kader PPP. Dan, disinilah, dibutuhkan penajaman daya baca realitas empiris yang berkembang di masyarakat. Sungguh, jika kondisi ini secara konsisten dapat diterapkan, sukses Pemilu 2009 bukan satu hal yang mustahil.

PPP dan Perilaku Politik Umat
Catatan penting yang tak dapat disangkal, di era multi partai, pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 meski banyak partai berideologikan agama serta underbouw Ormas Islam, PPP tetap dapat meraih posisi tiga, setelah PDI-P dan Golkar. Padahal, jika diingat, banyak kalangan yang meramalkan "karir politik" PPP telah usai. Apalagi, kala itu PBNU telah tegas-tegas melontarkan bahwa "anak sah" NU adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sementara PP. Muhammadiyah sendiri, telah merelakan Amien Rais terpilih sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).
Kekhawatiran banyak pihak bahwa massa PPP akan mengalami eksodus besar-besaran memang terjadi, khususnya di Jawa Timur. Namun, ini semua tidak membuat prestasi di tingkat nasional juga mengalami penggerusan. Bahkan di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, PPP masih mendapat hati masyarakat dan menjadi parpol yang diperhitungkan di kancah politik regional. Nampak bahwa eksistensi sebagai partai tetap dapat ditopang oleh infrastruktur, serta massa fanatiknya.
Namun demikian, jatuhnya suara PPP di Jawa Timur harus pula ditanggapi secara serius. Memang, tak dapat dielakkan jika kekalahan telak PPP di Jawa Timur lebih disebabkan oleh eksodusnya warga NU dan umat Islam lain yang bercirikan tradisional dan fanatik terhadap kultur ideologis. Sehingga teramat pantas, jika ketidaksiapan menghadapi resiko reformasi dan kondisi budaya menjadikan PPP mengalami cultural shock, yang berakhir pada hengkangnya jutaan pendukung PPP ke parpol lain.
Jelas, ini semua akibat tiadanya antisipasi sedini mungkin terhadap munculnya partai-partai berbasis agama; disamping keragu-raguan PPP untuk memposisikan perannya dalam perpolitikan tanah air.
Pemilu 2009 jelas merupakan momentum terpercaya untuk menguji kemampuan kader-kadernya dalam membaca riil politik sekaligus menakar program kerjanya selama ini, tentu dengan tak menafikan kemungkinan perbaikan atas program kerja yang tak menyentuh dan kurang berkenan di hati rakyat.
Yang perlu dipahami oleh kader-kader PPP adalah, bahwa citra politik Islam yang melekat pada PPP tidak lantas membuat umat Islam sendiri tertarik dengan PPP. Karena -- sejarah telah mencatat -- pandangan bahwa parpol Islam merupakan satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam jelas tidak mempunyai landasan yang kuat. Walaupun prestasi gemilang PPP di setiap SU MPR selalu saja dapat menangkal upaya sekulerisasi dan pendangkalan aqidah Islam, jelas-jelas tidak dapat dibantah.
Karena itu, dalam Pemilu 2009 nanti PPP harus mencari "posisi berbeda" dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Karena, meski mayoritas masyarakatnya muslim, tidak lantas menjadikan negara mendudukkan Islam dalam posisi yang seharusnya, yakni menjadi bingkai dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan masyarakat muslim-pun kerapkali tak rela untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam derap hidupnya. Untuk itulah, sudah saatnya kini, PPP mulai berfikir untuk mampu memadukan strategi politik yang bercorak struktural formalistic dan kontekstual substantif. Karena, ditengah kondisi masyarakat beragama yang pluralistik, jelas tak mungkin memposisikan PPP bercorak struktural formalistic saja.
Di tengah perilaku umat yang terus dalam posisi mengambang, strategi diatas-lah yang kini dianggap tepat untuk mensosialisasikan perjuangan PPP. Dengan prioritas pada pemenuhan hak hidup rakyat-lah, posisi tawar PPP sebagai partai Islam dapat dinaikkan. Namun demikian, hal ini bukan perkara mudah. Dalam konteks internal, membangun kesadaran dan strategi baru di tengah kader PPP tentu membutuhkan keseriusan dan kerja intensif. Harus ada upaya dari kita, untuk secara konsisten, menciptakan pandangan bahwa adanya sandaran politik formal -- yakni PPP --, Islam justru dapat bergerak lebih luwes, dan hak hidup rakyat juga terjamin.

Strategi dan Arah Kebijakan
Pijakan yang kuat dalam meraih sukses pemilu adalah kondisi lazim bagi sebuah parpol, tidak terkecuali PPP. Untuk itulah, setidaknya harus mulai dirumuskan perencanaan yang matang dalam mengatur strategi pemenangan sekaligus penentuan arah kebijakan yang bersifat konkret. Pemetaan kekuatan parpol, analisis potensi pemilih setiap daerah, dan perumusan kekuatan dan kelemahan kader-kader PPP, jelas merupakan pekerjaan yang mutlak harus segera diimplementasikan sedini mungkin.
Sebagai salah satu langkah penting dalam rangka mempersipakan perencanaan tersebut adalah memperkirakan berbagai kemungkinan, baik dalam kaitan internal maupun dalam hubungan eksternal. Dan salah satu alat yang belakangan ini sering dikembangkan adalah apa yang dinamakan Analisis SWOT -- Strenghts (Kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (Peluang), dan Threats (Ancaman). Maksud dari analisis ini adalah untuk meneliti dalam sarana manakah PPP kuat dan dalam sarana manakah PPP lemah. Jadi, kekuatan dan kelemahan ada dalam tubuh PPP (internal), sedangkan peluang dan ancaman berasal dari luar PPP (eksternal).
Dalam mengatur strategi serta menentukan arah kebijakan yang ada, setidaknya perlu diupayakan adanya pendidikan politik (political education) di kalangan kader-kader PPP. Langkah ini harus dilakukan secara intensif, konsisten, dan komprehensif, untuk meningkatkan pengetahuan politik kader dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik yang ada. Proses pendidikan politik harus disertai upaya penanaman etika dan moral politik Islam, karena disinilah jati diri dan eksistensi PPP sebagai Partai Islam dapat tetap kokoh berdiri. Di dalam pendidikan politik itulah secara alamiah akan terjadi proses komunikasi politik (political communication), bertemunya kepentingan (interest articulation), dan seleksi kepemimpinan (political selection). Ketiga hal inilah yang nanti menjadi landasan kuat bagi kader untuk mengatur dan menentukan strategi yang tepat dalam meraih sukses pemilu.
Tujuan dari proses pendidikan politik adalah menyamakan visi perjuangan kader-kader PPP. Dengan kesamaan visi perjuangan yang disertai penajaman daya baca terhadap persoalan empiris umat akan dapat melahirkan bangunan PPP yang kokoh dan tahan uji. Disamping itu, pendidikan politik secara tidak langsung merupakan konsolidasi dalam memperkuat struktur organisasi dan kader partai. Dengan pendidikan politik yang berbuah konsolidasilah, harapannya, tak lagi ada perdebatan unsur; melainkan akan lahir partai yang lebih berwajah inklusif. Dengan sandaran itu, sosialisasi program kerja PPP dalam konteks yang konkret dapat mudah diimplementasikan. Dan kader PPP tidak lagi terjebak pada retorika emosional yang cenderung berujung pada intrik politik yang kasar dan tak beradab.

Program Prioritas
Setidaknya ada empat program yang harus segera diimplementasikan dalam era multi partai dan kondisi masyarakat majemuk: Pertama, mewujudkan program yang menyentuh hak hidup rakyat. Peran PPP harus mengarah pada penguatan hak-hak ekonomi rakyat untuk berproduksi dan berdistribusi melalui koperasi, UKM dan pemberian pendidikan wirausaha secara egaliter. Sudah tidak pada tempatnya, promosi partai dilakukan selama empat puluh hari masa kampanye pemilu, yang cenderung lebih menunjukkan janji-janji politik semata. Karena, saat ini masyarakat adalah individu cerdas yang dapat memilah secara jernih mana partai yang serius memperjuangkan haknya, mana yang tidak.
Kedua, memperluas basis dukungan partai. Posisi sebagai Partai Islam, sudah seharusnya tidak membuat PPP terkotak dan tersegmentasi dalam arah perjuangannya. Sebagai pengemban misi Islam, rahmatan lil alamin, PPP hendaknya memperluas basis dukungannya tidak hanya sebatas pada komunitas santri. Basis dukungan dari kaum terpelajar, birokrat, pengusaha, disamping dukungan riil dari komunitas santri harus terus digalang. Karena, pada kelompok itulah, diharapkan akan muncul ide-ide cerdas yang dapat mendukung program kerja partai. Semakin luas basis dukungan menunjukkan bukti bahwa PPP merupakan partner efektif bagi terbentuknya masyarakat madani.
Ketiga, mensosialisasikan konsep pembangunan otonom. Program ini tak bisa ditawar, jika PPP ingin mendapat respon positif dari masyarakat. Karena, konsep daerah otonomi merupakan manifestasi perjuangan politik lokal yang jauh hari telah digagas oleh banyak kelompok di tingkat regional. Tentu, model-model kemitraan dalam menawarkan konsep pembangunan otonom dan penguatan ekonomi dan politik lokal menjadi keharusan bagi perjuangan PPP.
Keempat, mempertegas peran politik PPP sebagai partai Islam. Dalam kerangka ini, PPP harus bisa menampilkan Islam sebagai agama inklusif yang mampu mengakomodasi unsur maupun elemen Islam manapun. Disinilah, upaya simbolisasi Partai sebagai alat perjuangan Islam harus dibungkus dengan program nyata yang menyentuh kehidupan masyarakat.
Akhirnya, hanya dengan komitmen, konsistensi, dan kesungguhanlah upaya dan cita-cita perjuangan partai untuk meraih sukses pemilu 2009 dapat tercapai.




Label:

Problem Partai dan Peran Strategis Majelis Pakar


Pemilihan Umum boleh jadi merupakan event yang paling ditunggu oleh partai politik. Pemilu merupakan media terpercaya untuk memastikan seberapa besar pengaruh politiknya dalam menarik konstituen, di samping sebagai media menakar sejauh mana program serta aksi yang dijalankan selama ini menyentuh hati rakyat.
Namun, tentu bukan momentum Pemilu saja pantas ditunggu oleh fungsionaris partai, karena sebenarnya banyak media lain yang bisa digarap untuk merespon tuntutan politik ke depan. Yang menjadi pertanyaan, seberapa besar partai politik dapat merespon tuntutan rakyat? Adakah konsep-konsep cerdas yang telah diprogramkan oleh partai politik mampu menjadi penjawab atas problem besar rakyat? Ironisnya, yang muncul justru kemandulan aktivis partai politik dalam memahami keinginan rakyat. Partai politik bahkan kerapkali tak mampu menterjemahkan program yang telah diagendakan untuk menjadi solusi atas kebutuhan rakyat.
Tentu, dalam konteks praktek politik, kondisi tersebut sangat merisaukan; tidak saja karena sekarang adalah era partai, yang memposisikan massa mengambang menjadi begitu dibutuhkan oleh partai politik. Namun juga, saat ini adalah era keterbukaan yang memberikan ruang gerak yang longgar kepada rakyat untuk menentukan pilihan. Ketika kini, negara perlahan-lahan telah meninggalkan kekuatan hegemoniknya, dan rakyat beralih menaruh kepercayaan ke masyarakat sipil terpelajar; bukankah ini adalah pelajaran berharga bagi partai politik untuk segera berbenah?
Bagi Partai Persatuan Pembangan (PPP), kondisi ini tak pelak menjadi pelajaran berarti yang tak mungkin diabaikan. Konstruksi masyarakat yang makin terpelajar dan progresif terhadap perkembangan sosial yang ada, tidak bisa tidak harus menjadi bahan kajian penting, jika tak ingin tertinggal dengan parpol-parpol lain. Tentu kita semua meyakini, konstruksi ideal partai adalah barisan aktivis yang cerdas dan tanggap atas problematika partai-dan khususnya rakyat. Namun jika sekarang keadaan yang sebaliknya terjadi, tentu kita harus segera melakukan pembenahan.
Dalam konteks inilah, Majelis Pakar PPP menempati posisi penting dalam merumuskan program perjuangan partai dalam upaya mencerdaskan dan memberi pencerahan bagi fungsionaris PPP, sehingga dapat memformulasikan secara komprehensif jawaban atas tuntutan rakyat. Majelis Pakar tidak bisa tinggal diam, harus turut serta memformat agenda pengkaderan, pembelajaran, dan pemahaman pengurus partai dalam aktivitas politiknya.
Peristiwa politik "era reformasi" telah menjadi bahan rujukan menarik, mengapa sampai pada kesimpulan bahwa Majelis Pakar menjadi institusi yang sangat dibutuhkan bagi kelangsungan perjalanan politik PPP. Simak saja, pada pemilu 1999 dan 2004, walaupun berada di urutan ketiga, PPP belum mewarnai peta politik nasional, sebagaimana layaknya yang harus dimainkan oleh partai besar.
Ironisnya, yang terjadi di kalangan pengurus partai justru pengenduran semangat dalam berjuang. Sikap-sikap reaktif justru bermunculan disertai sikap pesimistis akan peta politik ke depan. Jarang sekali muncul konsep-konsep progresif yang mampu mengeluarkan PPP dari keterpurukan konstelasi politik daerah.Bahkan wakil-wakil PPP di legislatif (baik di kabupaten/kota, propinsi, pusat) tak dapat berbuat banyak dan menjadi penentu dalam setiap keputusan yang berkenaan dengan masalah publik. Kemandulan dan degradasi kemampuan berpolitik menjadi semakin rentan ketika tekanan politik kerapkali juga terjadi. Konstribusi wakil-wakil PPP bagi kebesaran partai teramat minim. Tentu kita memaklumi dengan kuantitas yang ada, namun bukankah fragmen dan keputusan politik juga ditentukan oleh kualitas kader parpol?
Pasca Pemilu 1999, ada sedikit angin segar menerpa PPP, terutama setelah Ketua Umum PPP, Hamzah Haz terpilih menjadi Wakil Presiden dan beberapa kader lain dipercaya untuk menduduki pos kementerian. Dari posisi di atas, tentu yang kita lihat bukan hanya kekuasaan, melainkan kenyataan bahwa PPP mulai menempati posisi menentukan dalam konstelasi politik nasional.
Namun melihat hasil Pemilu 2004, angin segar di atas hanya memberikan kebahagian semu, karena perolehan PPP secara nasional berkurang, bahkan PPP menjadi partai Islam terbesar yang perolehan suaranya menurun drastis. Untuk itu, dalam Pemilu 2009 nanti, kita perlu untuk mengubah paradigma bahwa semakin banyak kader partai yang memegang kekuasaan, semakin besar pula peluangnya untuk menang dalam Pemilu. Kita harus berpikir seperti di zaman Orde Baru, di mana kader partai bekerja keras untuk mendapatkan suara yang banyak, demi memperjuangkan cita-cita PPP, yakni amar makruf nahi munkar. Waktu itu, kader PPP tidak peduli dengan intimidasi yang harus diterima. Mereka juga tidak peduli, walaupun setelah Pemilu kader PPP mendapatkan kekuasaan apapun di eksekutif.
Banyak problem besar yang harus segera diatasi, jika kita menginginkan segera take off dan meraih kemenangan Pemilu 2009. Friksi yang terjadi antar pengurus, yang kemudian berbuah pada desersi politik beberapa orang untuk mendirikan PBR harus kita pahami sebagai pelajaran politik berharga yang tak boleh terjadi di kemudian hari. Memang, politik boleh jadi mempolarisasi rakyat berdasarkan kepentingan individu dan kelompok, namun bukan berarti menjadi media yang dapat memecah belah keutuhan partai. Karena friksi apapun yang terjadi, tidak kemudian menjadikan aktivis partai membuat garis demarkasi yang kemudian memunculkan kendaraan politik baru, atau melakukan desersi politik.
Kita harus memahami, problem akomodasi kepengurusan di PPP dalam batas-batas tertentu merupakan hal yang wajar sebagai suatu intelektual exercise (latihan intelektual) bagi pengurus, sejauh tidak menimbulkan akibat-akibat destruktif. Namun, jika kemudian yang terjadi muncul implikasi sosiologis yang berlanjut pada kesenjangan pemahaman politik, tentu harus segera diselesaikan.
Kegagalan melakukan akomodasi politik, munculnya desersi politik, dan rendahnya pemahaman aktivis PPP dalam menterjemahkan program partai adalah bentuk-bentuk dari belum berhasilnya PPP dalam membangun fondasi intelektual yang kokoh. Akibatnya kader PPP belum mampu menjawab tuntutan masyarakat intelektual dan mengejawantahkan paparan akademis dalam kehidupan berpolitik secara cerdas dan proaktif. Wajar pula jika pada gilirannya yang lahir adalah elite politik partai yang rendah daya nalar politiknya.
Untuk itulah, agar politik tidak manis dalam harapan dan pahit dalam kenyataan, kecerdasan politik dan penguasaan logika politik adalah modal utama dalam berpolitik.

Peran Strategis Majelis Pakar
Dengan memahami paparan diatas, tentu sangat lazim kirannya jika kemudian Majelis Pakar menjadi instrumen yang sangat dibutuhkan dalam mengawal PPP meraih kesuksesan dalam pentas politik daerah. Posisi strategis Majelis Pakar dalam menjembatani masyarakat sipil terpelajar dengan pengurus PPP menjadi kata kunci dalam memberi pendidikan politik bagi kader-kader PPP.
Pertemuan Rutin antara Majelis Pakar dan Pengurus PPP yang mengkaji masalah-masalah strategis yang menyentuh problem partai dan masyarakat harus menjadi agenda yang harus segera dibangun. Begitupun model-model pelatihan semacam training, kursus pendek (short course), ataupun workshop haruslah menjadi program kerja yang harus dijalankan secara rutin bagi Majelis Pakar untuk memberikan peran strategis bagi partai.
Aksentuasi Majelis Pakar haruslah seimbang dengan gerak langkah politik PPP dalam melakukan pendidikan politik ke masyarakat. Dan itu sangat mudah untuk dilakukan, dalam kondisi heterogenitas intelektual yang dimiliki oleh kader-kader PPP yang duduk di Majelis Pakar. Dengan kondisi intelektual dan akademis yang tangguh sangat memungkinkan bagi Majelis Pakar untuk memberi pencerahan akademis secara komprehensif bagi pengurus PPP.
Dalam konstelasi politik dewasa ini peranan majelis pakar dalam kapabilitas intelektualnya, kedewasaan emosinya, ketajaman dan ketegaran responsinya menempati posisi strategis dalam menciptakan kader-kader politik yang mampu menjabarkan strtegi politik secara tajam dan tepat sasaran.
Dengan kontribusi Majelis Pakar diharapkan Pengurus PPP memiliki kekuatan moral (power of moral) kekuatan ide (power of idea) dan kekuatan nalar (power of reason) untuk mengembangkan pemikiran politik aktif dan kritis. Dan tentu dengan formulasi bersama antara Majelis Pakar dan Pengurus PPP harus mampu menghilangkan tatanan kehidupan politik yang tidak demokratis dan mengembangkan kehidupan politik yang dinamis, sehat, dan turut mencegah berkembangnya konglomerasi politik.
Pada titik akhir PPP akan mampu dan aktif mengembangkan kesadaran masyarakat agar tercipta keseimbangan kekuatan politik sehingga tercipta konstelasi politik yang sehat yang pada akhirnya akan dapat membantu memecahkan persoalan aktual masyarakat secara kritis dan konsepsional sehingga partai menjadi instrumen politik rakyat yang terpercaya.


Label:

Revitalisasi Platform PPP Sebagai Partai yang Merakyat


Tuntutan masyarakat terhadap peran partai politik sebagai salah satu sumber solusi dari berbagai persoalan hidup semakin besar, seiring dengan semakin vitalnya peran partai politik sebagai institusi untuk menyerap aspirasi masyarakat di samping sebagai sumber rekruitmen kepemimpinan bangsa. Partai politik diharapkan dapat melahirkan sebuah kerja konkret yang nantinya dapat diimplementasikan dalam penuntasan agenda masalah bangsa.
Sebagai sebuah partai yang sudah lama berkiprah di Indonesia, PPP tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan di atas. Apalagi partai ini termasuk partai yang paling tua atau kalau meminjam bahasa agama termasuk "as-sabiquna al-awwalun", di samping Golkar dan PDI (kemudian berganti menjadi PDI Perjuangan), sehingga secara moral harus mampu menjadi lokomotif bagi tersalurnya aspirasi masyarakat.
Wajar, jika kemudian muncul angan-angan agar partai ini tidak sekadar menghasilkan pernyataan sikap atas perkembangan politik yang ada, tetapi lebih dari itu mampu memberi penegasan kepada masyarakat akan cita-cita serta pandangan PPP dalam menata dan menghantarkan negara menuju masa depan yang jauh lebih cerah.
Karenanya, dalam setiap even, baik itu Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) maupun Muktamar harus tidak boleh hanya terfokus pada upaya redistribusi kekuasaan di partai maupun di pemerintahan, melainkan juga membicarakan penegasan platform PPP yang berisi tentang ide, gagasan, dan pandangan PPP secara menyeluruh tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Forum Khusus
DPP PPP perlu secara serius melakukan kajian berbagai persoalan dan merespon ide dan gagasan dari seluruh masyarakat, terutama dari Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang, Pimpinan Ranting, bahkan juga Pimpinan Anak Ranting, sehingga berbagai persoalan yang muncul di kalangan konstiuen PPP secara khusus dan di kalangan masyarakat secara umum mendapatkan kanalisasi untuk segera diselesaikan.
Untuk itu, perlu ada forum khusus di mana fungsionaris partai dari berbagai tingkatannya hanya membicarakan aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat luas dan bagaimana cara menyelesaikannya. Di forum inilah akan terjadi adu argumentasi seputar program-program nyata yang bermanfaat bagi semua pihak -- baik kader PPP maupun masyarakat umum --dengan lebih komprehensif, jelas dan definitif. Hal ini tentu bisa dicapai jika konsolidasi internal dalam PPP berlangsung secara solid, di mana segala macam perbedaan mendapatkan saluran yang tepat untuk dikomunikasikan dan diselesaikan.
Kebutuhan akan platform partai dirasa semakin penting, ketika geliat PPP dalam mensikapi perkembangan dinamika politik nasional dan agenda masalah bangsa terlihat kerapkali mengabaikan kepentingan publik dan tuntutan reformasi, baik disadari atau tidak. Padahal, sebagai pengemban agenda reformasi sekaligus misi moral Islam, tanggung jawab PPP seharusnya jauh lebih berat dibandingkan dengan parpol lain. PPP tidak hanya bertanggungjawab pada rakyat pemilih dan konstituennya, tetapi juga secara moral - sebagai partai berazas Islam - mengemban prinsip amar ma'ruf nahi munkar.
Ironisnya pengingkaran atas prinsip diatas hampir berulang berkali-kali. Salah satu contoh adalah gagalnya pembentukan Pansus Buloggate II yang melibatkan Akbar Tandjung, yang bagi sebagian besar masyarakat merupakan "tragic ending" yang memilukan bagi upaya pemberantasan korupsi. PPP, yang pada kasus Buloggate I (yang berakhir pada lengsernya KH. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden) menjadi pelopor sekaligus mendudukkan kadernya sebagai Ketua Pansus, pada kasus Buloggate II justru sejak jauh-jauh hari telah menentang keras pembentukan pansus; dengan alasan "serahkan pada proses pengadilan" serta "demi stabilitas politik." Sikap seperti ini patut dipertanyakan, karena bagaimana mungkin PPP bisa begitu percaya dengan proses pengadilan, padahal cerita di pengadilan seringkali jauh dari realitas sebenarnya. Logika, "demi supremasi hukum maka jangan campuri pengadilan", menjadi tidak relevan dengan banyaknya kejanggalan dalam penyelesaian kasus tersebut. Lantas, jika stabilitas politik yang dijadikan sandaran PPP; tentu akan timbul kembali pertanyaan, mana sesungguhnya yang dipilih PPP, kekuasaan sesaat atau clean government? berpihak pada kepentingan kelompok tertentu ataukah rakyat ?
Salah satu contoh tersebut memberi gambaran bahwa PPP belum mempunyai platform yang jelas mengenai pemberantasan Korupsi, kolusi, dan Nepotisme (KKN), bahkan mungkin sejumlah agenda bangsa lain, baik masalah ekonomi, politik, pendidikan, sosial budaya, dan hankam. Padahal, sejatinya partai politik harus mampu merespon permasalahan bangsa secara genial dan lugas, jelas akan berpengaruh dalam menarik simpati rakyat. Begitupun jika sikap yang ditunjukkan PPP juga mengingkari tuntutan rakyat. Dapat dipastikan, citra diri (self image) sebagai parpol berazas Islam yang menjunjung tinggi akhlak al-karimah dan nilai-nilai kebenaran, perlahan-lahan tentu akan pudar dari ingatan kolektif rakyat. Dan, itulah harga mahal yang harus dibayar, jika sikap PPP hanya diorientasikan pada kebutuhan kekuasaan, bukan pada tuntutan hati nurani rakyat.
Platform partai menjadi kebutuhan yang tak bisa ditawar, setidaknya untuk mencegah penyimpangan atas agenda reformasi yang telah digariskan oleh elemen mahasiswa, rakyat, dan konstituen PPP. Timbulnya bermacam pertanyaan dari rakyat di daerah seputar ketidakkonsistenan PPP dalam merespon tuntutan reformasi, sungguh sangat sulit dijawab oleh para pengurus di Pimpinan Wilayah dan Cabang. Apa yang harus dijawab oleh kader-kader partai di daerah, jika para elite-nya di pusat justru melakukan pengingkaran terhadap agenda reformasi. Karenanya, jika ada panduan menyeluruh tentang strategi penyelesaian agenda masalah bangsa oleh PPP, jelas akan memudahkan fungsi kontrol yang akan dilakukan oleh Pimpinan Wilayah, Cabang, dan konstituen PPP terhadap kebijakan-kebijakan yang digulirkan oleh DPP PPP maupun Fraksi PP di DPR.
Keberadaan platform yang tegas dan komprehensif menjadikan rakyat lebih mudah menilai secara menyeluruh, rasional dan objektif. Karena, yang harus diingat, saat ini rakyat adalah komunitas cerdas yang tak mudah ditipu dengan retorika janji kampanye. Rakyat kini telah mempunyai keberanian mengkritisi dan memberi hukuman atas pelanggaran janji kampanye parpol. Parpol yang lalai dengan janji yang disuarakan saat kampanye bisa jadi segera ditinggalkan konstituennya dan mengharamkannya untuk dipilih di Pemilu tahun berikutnya.

Platform yang Merakyat
Untuk itu, menyambut Pemilu 2009, PPP harus segera menyusun berbagai platform yang lebih konkret dan membumi, dengan kriteria dan tolak ukur yang jelas, sehingga masyarakat bisa merasakan keberadaan PPP. Platform ini harus merupakan jati diri dari langkah politik PPP dalam kehidupan bernegara. Dengan platform ini, rakyat diajak berkomunikasi secara verbal dan argumentatif dalam menyikapi agenda masalah bangsa. Rakyat-pun dibiasakan melihat partai bukan karena kharisma seseorang, tetapi kecerdasan ide dan gagasannya. Karena demokrasi sesungguhnya bukan janji kampanye Pemilihan Umum tetapi "perang intelektual" dan "perang karya nyata" melalui kecerdasan dalam mencetuskan platform, dan mengimplementasikannya melalui langkah politik secara konsekuen.
Lantas, bagaimana bentuk sesungguhnya platform PPP tersebut? Tentu, platform yang dibangun harus dengan landasan sikap akhlaq al-karimah dan amar ma'ruf nahi munkar. Aksentuasi platform dibingkai oleh falsafah nilai-nilai luhur Islam. Karena, disinilah, awal citra partai dibangun, yaitu dari perpaduan kondisi riil masyarakat dan falsafah keagamaan sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan masyarakat. Untuk menilai apakah paltform tadi terlaksana, kita bisa mengajukan serangkaian pertanyaan, seperti apakah PPP dapat memberikan solusi terbaik bagi penyelesaian persoalan kesejahteraan ekonomi, keadilan politik, penuntasan kasus hukum dan HAM, pemberantasan KKN, penciptaan rasa aman, penjaminan atas keberlangsungan pendidikan dan peningkatan SDM, serta apakah masalah publik dan layanan kemasyarakatan sudah terpenuhi atau tidak?
Untuk itulah, nantinya dalam platform PPP, setidaknya ada enam bidang yang harus menjadi bahasan seirus, yaitu; Pertama, Bidang Ekonomi. Bagaimana konsep PPP dalam mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan, hutang luar negeri, fluktuasi rupiah, dan inflasi. Lalu, bagaimana tentang penyelesaian masalah kredit macet dalam perbankan nasional, privatrisasi BUMN, krisis energi dan kemungkinan kenaikan BBM, bagaimana konsep PPP tentang ekonomi rakyat dan UKM, dan tentu bagaimana menerapkan ekonomi syariah sebagai alternatif bagi penyelsaian krisis ekonomi nasional. Yang lebih penting lagi, PPP perlu menyusun dan membantu pemerintah bagaimana agar iklim investasi di Indonesia berkembang, sehingga investor yang ada tidak pergi dan investor yang masih di luar bisa masuk dengan penuh semangat dan penuh harapan.
Kedua, Bidang Politik. PPP harus mempunyai konsep yang tegas tentang pemisahan dan konsekuensi antara jabatan atas jabatan publik dan pimpinan Partai Politik sebagai upaya untuk mengurangi moral hazard. PPP juga harus mempunyai panduan yang jelas mengenai bagaimana Pimpinan Wilayah dan Pimpinan Cabang memilih calon kKepala Daerah dari PPP dan bagaimana pula mengikuti rangkaian Pilkada secara santun, bermoral dan bermartabat. Dan, yang lebih penting bagaimana konsep politik Islam yang sesungguhnya, yang diusung PPP sebagai landasan serta sikap politiknya, apakah ditekankan pada perjuangan politik formal Islam seperti mengupayakan pemberlakuan Piagam Jakarta atau lebih fokus pada substansi ajaran Islam seperti pemberantasan korupsi.
Ketiga, Bidang Hukum dan HAM. Bagaimana PPP menyikapi berbagai persoalan hukum yang muncul belakangan ini, seperti masalah Pengadilan Tinggi yang menganulir Keputusan KPUD dalam Pilkada Depok, mafia peradilan, masalah pelanggaran HAM dalam Kasus trisakti dan Semanggi, dan lain sebagainya. PPP juga perlu mencarikan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah Papua, dan juga meminilisir dampak negatif yang mungkin terjadi pasca kesepakatan damai antara pemerintah dan GAM.
Keempat, Bidang Pertahanan dan Keamanan. Dalam konteks ini PPP perlu mencarikan solusi atas konflik yang sering kali terjadi antara TNI dan kepolisian, moral hazard di kalangan tentara dan kepolisian, masalah separatisme dan konflik horizontal di berbagai daerah, dan lain sebagainya.
Kelima, Bidang Pendidikan dan Sosial Kemayarakatan. Apa konsep PPP dalam mensikapi sistem pendidikan yang compang-camping dan berganti-ganti, rendahnya kualitas SDM pendidik dan mutu pendidikan tinggi? Begitupun soal problem sosial, berupa maraknya peredaran narkoba dan pornografi, kekerasan pada anak dan wanita, serta kemiskinan.
Keenam, Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, kita kerapkali melihat berbagai kebijakan pemerintah maupun produk-produk legislasi telah berubah menjadi sesuatu yang high interest sifatnya, atau memperoleh sorotan tajam dari berbagai lapisan. Rakyat dengan harapan besar dan kepekaan ekstra mencermati, apakah mereka akan dijadikan "martir" atau benar-benar diperjuangkan. Untuk itulah, tidak bisa tidak, platform PPP harus dapat merespon sikap dan tuntutan rakyat secara aktif sekaligus menggali berbagai permasalahan yang timbul sebagai bentuk kepedulian terhadap hak manusiawi rakyat. Tujuan pokok dari hal ini adalah bagaimana rakyat mendapatkan layanan publik dengan biaya yang murah dan dengan waktu sesingkat mungkin.

Merealisasikan Platform
Keberadaan platform partai dan konsistensi dalam mengimplementasikannya tentu merupakan investasi politik mahal yang hasilnya akan dapat dipetik dikemudian hari. Tidak saja berupa peningkatan suara pemilu, namun yang lebih penting adalah merupakan dasar berpijak menuju partai modern yang mampu berkiprah secara cerdas dan elegan dalam pentas politik nasional.
Untuk itu, platform tadi harus diterjemahkan lagi dalam agenda-agenda yang konkret dan aplikatif, sehingga ada tolak ukur yang jelas apakah platform tadi sudah dilaksanakan atau tidak. Kalau perlu, PPP membuat proyek percontohan bahwa apa yang diagendakan bukan isapan jempol belaka, melainkan bisa direalisasikan dalam kehidupan nyata. Sebagai contoh, dalam soal pendidikan, di mana kualitas SDM Indonesia masih rendah, PPP perlu membuat pelatihan-pelatihan keterampilan, di mana anak didik dilatih untuk bisa terampil dalam satu hal dan bisa mendorong yang bersangkutan untuk hidup dengan keterampilan tersebut. Dengan begitu, PPP bisa melahirkan anak muda yang tidak hanya bisa mencari pekerjaan, melainkan bisa bekerja secara mandiri, bahkan bisa membuka lapangan kerja.
Kalau setiap semester (6 bulan) masing-masing DPW PPP di seluruh Indonesia bisa melatih 30 anak muda, maka dalam satu tahun akan lahir ratusan bahkan ribuan pengusaha muda yang mandiri dan tangguh yang kelak menjadi harapan bangsa untuk menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan.

Label:

Reformulasi Desain Masa Depan PPP


Setelah Amandemen UUD 1945, dengan segala macam implikasinya, seperti pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung, seluruh partai politik di Indonesia dituntut untuk menyusun ulang desain masa depannya, tak terkecuali bagi PPP yang dalam 2 kali pemilihan umum pasca reformasi (Pemilu 1999 dan Pemilu 2004) berada dalam posisi 3 besar, walaupun selisih dengan urutan kedua dan pertama cukup jomplang.
Munculnya angan-angan untuk mereformulasi desain masa depan PPP yang berisi tentang ide, gagasan, dan pandangan PPP secara menyeluruh tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dirasakan sangat mendesak karena situasi dan kondisi politik mutakhir sudah mengalami perubahan yang sangat cepat. Jika PPP terlambat melakukan perubahan, maka partai ini bisa ketinggalan kereta.

Polarisasi Umat Islam
Ketiadaan desain masa depan PPP yang responsif terhadap kondisi sosial politik masyarakat, serta strategi pemenangan Pemilu yang proaktif terhadap fluktuasi politik adalah benih ketidakpercayaan konstituen yang bisa jadi akan menjatuhkan suara PPP. Banyak contoh bisa disebut, bagaimana PPP pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 sulit bersaing menghadapi parpol baru yang cenderung bersikap terbuka dan modern. Saat itu PPP berada di ujung jalan bercabang. Ujung kanan dihuni parpol "beridentitas agama" (bukan berideologi agama) yang memiliki kedekatan kultural dengan Ormas Islam (PKB dengan NU, PAN dengan Muhammadiyah, dan PBB dengan eks Masyumi) -- meski ada pendapat lain dalam kategori ideologis yang menempatkan PAN dan PKB sebagai parpol tengah -- sementara PPP hanya dapat mengklaim dekat secara historis dengan ketiga Ormas Islam tersebut. Dikaitkan dengan Nu dan Muhammadiyah, PPP dapat dikatakan berada diujung luar.
Di ujung kiri, dihuni parpol beraliran majemuk dan nasionalis yang direpresentasikan merupakan wakil masyarakat umum, priyayi, dan abangan. Dikaitkan dengan kelompok di atas, PPP juga berada diujung ularnya, bahkan dapat dikatakan berada di luar garis kelompok tadi.
Dengan gambaran di atas, posisi PPP berada dalam posisi yang sangat rentan, karena bisa ditinggalkan oleh masyarakat yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah secara bersama-sama. Lantas jika kemudian tak ada strategi pembeda antara PPP dengan Parpol Islam lain yang notabene memiliki basis Ormas yang tegas, tentu sangat naif jika kita menginginkan kemenangan Pemilu. Apalagi citra politik Islam yang melekat pada PPP tidak lantas membuat umat Islam tertarik dengan PPP. Karena -- sejarah telah mencatat -- pandangan bahwa parpol Islam merupakan satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam jelas tidak mempunyai landasan kuat. Bahkan, meskipun beberapa bagian umat Islam berafiliasi dalam parpol Islam, namun menggeneralisasikan umat Islam berada dalam irama politik yang sama adalah pandangan yang kurang mendapat pijakan historis yang kokoh.
Polarisasi perilaku politik umat Islam, yang ditunjukkan dengan banyaknya berdiri Parpol berlabel Islam serta kekisruhan kampanye pemilu yang kerapkali melibatkan dua kubu umat Islam yang berbeda aspirasi politik, merupakan cermin betapa umat Islam tidak berada dalam keragaman visi. Belum lagi, yang harus dipahami bahwa nyata-nyata jika parpol "non Islam"-pun juga turut memperjuangkan politik umat Islam.

Desain Masa Depan
Sudah menjadi kenyataan bahwa secara historis PPP didirikan sebagai fusi politik dari eks- Partai-partai Islam; NU, MI, SI, dan Perti. Namun sulit dibantah bahwa tidak seluruh warga NU, MI, SI, dan Perti tetap konsisten berada dalam PPP. Banyak warga NU yang eksodus ke PKB, beberapa di PKU, PNU, Golkar, bahkan PDI-P. Begitupun yang terjadi dengan MI, banyak warganya yang beralih membela PAN, dan tak sedikit yang ke PBB dan Golkar.
Sebaliknya pula merupakan kenyataan bahwa pasca tumbangnya Orde Baru, lahir generasi baru yang simpati dan mempunyai kepedulian pada PPP. Mereka datang tidak membawa bendera Ormas atau label Islam untuk sampai simpati pada PPP. Kelompok inilah yang kini banyak berperan dan memberi kontribusi positif dalam perjuangan PPP. Mereka adalah para akademisi dan intelektual kampus, birokrat dan mantan pejabat eksekutif, mantan (purn) TNI, , pengusaha dan wiraswastawan, serta golongan muda terdidik.
Potensinya yang besar dan wawasan maupun kesadaran politiknya yang luas harus memberi kesadaran baru bagi fungsionaris PPP bahwa elemen ini patut dipertimbangkan dalam penentuan kebijakan strategis Partai. Pikiran-pikiran mereka juga sangat aspiratif terhadap keinginan rakyat, demikian pula perpaduan rasa keagamaan dan kebangsaannya yang juga cukup mumpuni. Kesadaran atas kenyataan inilah yang perlu ditanamkan pada diri setiap tokoh sentral PPP, bila mereka hendak memperbaiki dan membangun citra partai. Para tokoh partai, harus berani melahirkan suatu konsep baru yang sehat dan segar, yang sanggup menampung potensi yang secara real ada dan hidup ditengah komunitas real PPP. Perpaduan antara potensi eks unsur dan potensi non unsur inilah yang harus menjadi bangunan dari desain PPP masa depan. Dan penumbuhan rasa kesadaran inilah yang perlu menjadi awal pekerjaan yang harus dilakukan oleh seluruh keluarga besar PPP.
Desain PPP masa depan juga harus merekonstruksi pemosisian politik PPP dalam konteks politik Islam. Dalam artian pemosisian PPP yang selalu bersikap keras dan tegas dalam memperjuangkan formalisme Islam (seperti pelaksanaan Piagam Jakarta) harus dikaji ulang. Ini dilakukan bukan karena strategi perjuangan tersebut salah, tetapi lebih pada kondisi riil masyarakat yang belum bisa diajak menuju pada posisi seperti idealitas PPP. Harap ingat, meski mayoritas masyarakat Indonesia muslim, tidak lantas menjadikan negara mendudukkan Islam dalam posisi yang seharusnya, yakni menjadi bingkai dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan masyarakat muslimpun kerapkali tak rela untuk menerapkan nilai-nilai formal Islam dalam derap hidupnya. Untuk itulah, sudah saatnya kini, PPP mulai berfikir untuk mampu memadukan strategi politik yang bercorak struktural formalistic dan kontekstual substantif. Karena, ditengah kondisi masyarakat beragama yang pluralistik, sehingga tak mungkin bagi PPP untuk berada dalam posisi struktural formalistic saja. Ini semua dilakukan bukan berarti idealitas Islam ditinggalkan dari ruh perjuangan PPP, karena pada saatnya nanti ketika masyarakat mampu membaca keinginan PPP, idealitas itu akan hadir dengan sendirinya.

Empat Pijakan
Untuk itulah, perlu kiranya fungsionaris PPP melakukan langkah-langkah strategis demi tercapainya desain masa depan PPP, yang antara lain, pertama, menjembatani hubungan antara PPP dengan konstituen. Ini dilakukan dengan alasan pendekatan politik ekonomi yang biasa mendasarkan pada pertanyaan ''siapa mendapat apa dan mengapa''. Ini mengisyarakan bahwa konstruksi hubungan antara partai dan konstituen dalam demokrasi haruslah bersifat kalkulatif dan transaksional.
Kedua, merekonstruksi dan mempertegas Platform Partai. Disini platform yang dibangun harus dengan landasan sikap akhlaq al-karimah dan amar ma'ruf nahi munkar. Aksentuasi platform dibingkai oleh falsafah nilai-nilai luhur Islam. Karena, disinilah, awal citra partai dibangun, dari perpaduan kondisi politik riil dan dasar falsafah dengan upaya pemenuhan hak manusiawi rakyat. Hak manusiawi rakyat disini menyangkut; apakah PPP dapat memberikan solusi terbaik bagi penyelesaian persoalan kesejahteraan ekonomi, keadilan politik, penuntasan kasus hukum dan HAM, pemberantasan KKN, penciptaan rasa aman, penjaminan atas keberlangsungan pendidikan dan peningkatan SDM; serta persoalan prinsipil menyangkut masalah publik dan layanan kemasyarakatan.
Ketiga, kaderisasi partai secara berkesinambungan. Ini dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi persaingan partai dalam hal kualitas SDM. Dengan SDM yang berkualitas, seorang politikus/kader PPP akan mampu berkomunikasi secara verbal dan argumentatif dalam menyikapi agenda masalah bangsa. Rakyat-pun dibiasakan melihat partai bukan karena kharisma seseorang, tetapi kecerdasan ide dan gagasannya. Karena demokrasi sesungguhnya bukan janji kampanye pemilu tetapi "perang intelektual" melalui kecerdasan dalam mencetuskan ide, dan mengimplementasikannya melalui langkah politik secara konsekuen. Disinilah, pada akhirnya massa/konstituen PPP tidak saja terdidik secara politik tetapi juga mampu menjadi kader PPP bagi kepentingan kepemimpinan di masa depan.
Keempat, Menuju "Partai Tengah" - secara ideologis. Langkah ini bukanlah pengingkaran dari posisi PPP sebagai Parpol Islam yang diidentikkan masyarakat sebagai Partai Kanan. Strategi "Menuju Partai Tengah" merupakan strategi pendulangan suara untuk membidik kelompok masyarakat Islam awam yang berada di basis-basis perkotaan, yang masih alergi dengan label Islam.
Keberadaan desain masa depan PPP dan konsistensi dalam mengimplemen-tasikannya tentu merupakan investasi politik mahal yang hasilnya akan dapat dipetik dikemudian hari. Tidak saja berupa peningkatan suara Pemilu, namun yang lebih penting adalah merupakan dasar berpijak menuju partai modern yang mampu berkiprah secara cerdas dan elegan dalam pentas politik nasional.


Label:

Usulan Program Kerja POKSI X F-PPP DPR-RI

Usulan Program Kerja POKSI X F-PPP DPR-RI

Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian dan Kebudayaan

Oleh Drs. H. A. Hafidz Ma’soem (Ketua Poksi X F-PPP DPR-RI)

I. Sasaran Poksi X

  1. Memperjuangkan agar misi dan visi PPP, terutama yang berkenaan dengan upaya amar makruf dan nahi munkar, bisa terealisasikan dalam bidang kerja Poksi X, yakni dalam Bidang Pendidikan, Pemuda, Olahraga, Pariwisata, Kesenian, dan Kebudayaan.
  2. Memperjuangkan agar dalam bidang kerja Poksi X tadi, masyarakat bisa mendapatkan barakah yang banyak, yakni bisa menjadi subjek dalam pembangunan bidang-bidang kerja Poksi X.
  3. Memperjuangkan agar pelaku yang terlibat dalam bidang kerja Poksi X, seperti guru, pemuda, olahragawan, seniman, dan budayawan bisa memperoleh kesejahteraan yang layak, sehingga mereka bisa berjuang dengan tenang untuk menggapai prestasi yang gemilang.
  4. Memperjuangkan agar masyarakat luas bisa mengakses pendidikan, olahraga, pariwisata, kesenian dan kebudayaan dengan biaya yang terjangkau. Untuk itu perlu ada kebijakan yang mendorong agar keluarga miskin bisa mengaksesnya dengan mudah. Misalnya, dalam hari-hari tertentu, fasilitas olahraga dan fasilitas pariwisata yang dikelola swasta atau negara mengadakan diskon khusus (bahkan gratis) untuk keluarga tidak mampu.
  5. Memperjuangkan agar Poksi X F-PPP DPR-RI bisa menjadi salah satu “humas” F-PPP secara khusus dan PPP secara umum, sehingga PPP secara keseluruhan mempunyai image yang bagus di kalangan masyarakat luas. Apalagi politik modern merupakan pertarungan antar image, sehingga partai yang mempunyai image bagus berpotensi besar untuk mendapatkan simpati publik.

(Catatan: Istilah “memperjuangkan” di atas adalah dalam rangka melaksanakan fungsi lembaga legislatif, yaitu fungsi pengawasan, anggaran, dan legislasi).

II. Program Kerja Bidang Pendidikan

Bidang Legislasi

  1. Mengupayakan agar RUU tentang Guru dan Dosen segera dibahas dan disahkan. Dalam konteks ini, Poksi X F-PPP perlu untuk memperjuangkan agar guru dan lembaga pendididikan di daerah terpencil dan di daerah pedesaan, perlu untuk mendapatkan insentif khusus, sehingga para guru tadi betah untuk terus memberikan pengabdiaanya dan lembaga pendidikan tadi juga bisa berkembang serta bisa menyaingi lembaga pendidikan yang ada di perkotaan. Perlu untuk diketahui bahwa banyak guru-guru di daerah terpencil dan di kawasan pedesaan merupakan konstituen atau minimal simpatisan PPP, bahkan yayasan atau lembaga pendidikan yang menaungi guru-guru tadi juga merupakan pendukung setia PPP secara turun temurun. Alangkah berdosanya jika Poksi X F-PPP secara khusus dan F-PPP secara umum tidak memperjuangkan insentif khusus untuk guru dan lembaga pendidikan di daerah terpencil dan di pedesaan. Perjuangan untuk menggapai hal di atas harus dilakukan secara terencana dan sistematis, disertai dengan perjuangan yang sungguh-sungguh sampai tetes darah penghabisan.
  2. Mengupayakan agar RUU tentang Badan Hukum Pendidikan segera dibahas dan disahkan. Dalam konteks ini, F-PPP perlu untuk memperjuangkan agar lembaga pendidikan di daerah terpencil dan di pedesaan, serta lembaga pendidikan agama dan pesantren bisa memperoleh bantuan teknis, sehingga mereka bisa cepat memenuhi persyaratan yang tertera dalam RUU tentang Badan Hukum Pendidikan. Selain itu, F-PPP perlu memperjuangkan agar RUU ini juga bisa mengakomodasi tradisi dan sistem kepesantrenan yang baik (as-salafu as-shaleh), sehingga tidak harus diobok-obok oleh keberadaan RUU Badan Hukum Pendidikan. Selain itu, RUU Badan Hukum Pendidikan perlu mendorong agar pesantren terdorong secara langsung atau tidak langsung untuk mengakomosasi hal-hal yang baik (al-khalaf al-ashlah), yang tertera dalam RUU tadi. Untuk itu Poksi X F-PPP perlu mengkaji secara khusus perbandingan antara ketentuan dalam RUU Badan Hukum Pendidikan dengan sistem dan tradisi kepesantrenan, sehingga Poksi X F-PPP bisa melakukan inventarisasi mana ketentuan dalam RUU Badan Hukum Pendidikan yang disesuaikan dengan tradisi dan sistem kepesantrenan dan/atau sebaliknya.

Bidang Pengawasan

  1. Mengevaluasi dan mengawasi pelaksanaan Ujian Nasional dengan baik, sehingga tujuan dari UN bisa tercapai dengan baik.
  2. Mengevaluasi pelaksanaan penerimaan siswa dan mahasiswa baru, termasuk di dalamnya mengevaluasi proses dan seluk beluk penjualan buku pelajaran, sehingga masyarakat miskin tidak terbebani terlalu berat untuk bisa mengakses pendidikan.
  3. Mengawasi proses pengadaaan buku dan sarana pendidikan di Departemen Pendidikan Nasional secara cermat, sehingga tidak terjadi kolusi, korupsi, dan nepotisme di bidang pendidikan, yang mengakibatkan (secara langsung atau tidak langsung) anggaran pendidikan untuk masyarakat miskin semakin berkurang.
  4. Mengawasi proses penyaluran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sehingga tepat sasaran dan tidak terjadi penyalahgunaan.
  5. Mempelopori pendataan dan audit anggaran pendidikan yang dikeluarkan seluruh instansi, pemerintah daerah, dan Diknas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan/atau agar pelaksanaan pendidikan di Indonesia bisa lebih efesien dan efektif.
  6. Mengawasi isi kurikulum mata pelajaran agar sesuai dengan jiwa dan semangat UUD 1945, mendorong kreatvitas anak didik, serta tidak memutarbalikkan fakta sejarah. Sebagai contoh, dalam kurikulum sejarah 2004, Poksi X F-PPP harus melakukan advokasi agar kata “PKI” tidak terhapus.

Bidang Anggaran

  1. Memperjuangkan agar target anggaran pendidikan bisa mencapai 20 persen, sesuai dengan UUD 1945 bisa lebih dipercepat.
  2. Memperjuangkan skem baru, semacam DAU dan DAK untuk Pendidikan, khusus untuk lembaga pendidikan di pedesaan dan daerah terpencil, serta untuk lembaga pendidikan tua yang mempunyai kontrsibusi besar bagi perjuangan bangsa namun lembaga ini kurang berkembang karena kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
  3. Mengupayakan insentif khusus bagi perusahaan yang memberikan bantuan untuk pengembangan pendidikan di pedesaan dan daerah terpencil.

III. Program Kerja Bidang Pemuda dan Olahraga

Bidang Legislasi

  1. Mengupayakan agar RUU tentang Keolahragaan segera dibahas dan disahkan. Dalam konteks ini Poksi X F-PPP perlu untuk memperjuangkan agar pemuda pedesaan dan daerah terpencil bisa mengakses dan mendapatkan fasilitas keolahragaan sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, Poksi X F-PPP perlu untuk memperjuangkan agar olahraga tradisional, seperti kasti, slodor, dll, bisa terakomodasi dalam RUU Keolahragaan.

Bidang Pengawasan

  1. Mengawasi proses pengembangan olahraga (baik olahraga untuk prestasi atau olahraga non-prestasi) agar berjalan dengan baik dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama oleh masyarakat pedesaan dan daerah terpencil.
  2. Mengawasi kinerja lembaga-lembaga yang terkait dengan kepemudaan, agar program kerja dan anggaran yang disalurkan bisa tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan, serta tidak terjadi KKN.

Bidang Anggaran

  1. Memperjuangkan agar ada anggaran khusus untuk pengembangan olahraga tradisional dan untuk pembangunan sarana olahraga untuk masyarakat di daerah pedesaan dan daerah terpencil.
  2. Mengupayakan insentif khusus bagi perusahaan yang memberikan bantuan untuk pengembangan olah raga di pedesaan dan daerah terpencil.

IV. Program Kerja Bidang Pariwisata, Kesenian, dan Kebudayaan

Bidang Legislasi

  1. Mengkaji UU, Peraturan Pemerintah, peraturan lainnya yang terkait dengan kepariwisataan, dengan fokus kajian mengamandemen peraturan yang menghambat pariwisata di Indonesia.
  2. Perlu segera disusun peraturan-peraturan yang bisa mendorong kemajuan kesenian/kebudayaan tradisional dan kemajuan pariwisata di daerah terpencil.
  3. Poksi X F-PPP perlu segera untuk megusulkan terbitnya peraturan agar masyarakat di daerah sekitar kawasan wisata bisa menjadi subjek dari pembangunan pariwisata, bukan sekadar menjadi objek, bahkan menjadi tamu di negeri sendiri. Salah satu caranya adalah dengan membolehkan masyarakat sekitar kawasan wisata untuk menerima turis asing / domestik guna menginap di rumahnya, dengan tarif yang bisa lebih murah dari hotel, namun para turis akan dapat menikmati suasana kebatinan dari kawasan wisata yang dikunjunginya.
  4. Poksi X F-PPP perlu untuk memperjuangkan perangkat peraturan agar wisata ruhani, tanpa harus menimbulkan sirik dan bid’ah, bisa berkembang dengan baik, sejajar dengan perkembangan wisata non-ruhani.

Bidang Pengawasan

  1. Mengawasi pelaksanaan program kerja instansi dan lembaga yang terkait dengan bidang pariwisata, kesenian, dan kebudayaan agar tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan, serta tidak terjadi KKN.
  2. Mengawasi agar budaya porno aksi dan budaya negatif lainnya tidak berkembang di Indonesia.

Bidang Anggaran

  1. Mengupayakan agar ada anggaran khusus untuk mengembangkan kebudayaan/kesenian tradisional dan memajukan kawasan wisata ruhani dan wisata lain di daerah terpencil.
  2. Mengupayakan insentif khusus bagi perusahaan yang membantu kemajuan kebudayaan/kesenian tradisional dan kemajuan wisata ruhani serta wisata lain di daerah terpencil

V. Strategi Perjuangan Poksi X

Konsolidasi Internal

  1. Pertemuan rutin Poksi harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kepentingan konsolidasi internal Poksi X F-PPP DPR-RI.

Optimalisasi SDM

  1. Mengoptimalkan peran staf ahli dan asisten anggota DPR-RI di lingkungan Poksi X untuk melakukan kajian di bidang-bidang yang terkait dengan bidang kerja Poksi X.
  2. Memberikan tugas kepada staf ahli dan asisten anggota di lingkungan Poksi X untuk membuat pers release yang berisi sikap Poksi X F-PPP terhadap isu-isu aktual yang terkait dengan bidang kerja Poksi X F-PPP.

Menjalin Aliansi dengan Anggota DPR Lintas Partai

  1. Melakukan lobi-lobi terhadap anggota DPR dari berbagai partai agar mendukung program kerja Poksi X F-PPP, terutama untuk melaksanakan tugas kelegislasian.

Label:

Strategi dan Arah Kebijakan PPP Jatim menuju Pemilu 2004

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PPP JATIM MENUJU PEMILU 20041

A. Hafidz Ma’soem2

Sisa waktu menuju pemilu 2004 dua tahun lagi, namun persinggungan politik dan wacana pemilu hampir tiap hari menghiasi pemberitaan media massa. Lazimnya sebuah kompetisi, setiap peserta telah menyiapkan bermacam jurus dan strategi untuk berlaga demi meraih predikat juara. Begitupun Pemilu, setiap kontestan jauh hari telah menyiapkan strategi dan membentuk lembaga pemenangan. Dan, bagi sebuah parpol, perencanaan adalah kebutuhan mutlak yang menjadi agenda utama. Karena, Pemilu-lah indikator paling representatif yang dapat dijadikan acuan apakah parpol tersebut diminati rakyat atau tidak. Pemilu juga hingga kini masih dipercaya sebagai media efektif untuk meraih kekuasaan politik.

Ironisnya, saat ini justru banyak parpol mengalami konflik internal serius. Bahkan beberapa diantaranya saling bersitegang dan menciptakan instabilitas demokrasi. Jika diamati, terlihat ketidakmampuan parpol dalam menciptakan tertib politik. Dalam batas itu saja, dapat dibaca bahwa sesungguhnya parpol belum siap berlaga dalam kontes pemilu. Apalagi sampai detik ini rakyat makin ragu akan konsistensi parpol dalam memperjuangkan aspirasi-nya.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sendiri tengah mengalami gejala serupa. Disamping tengah mengalami friksi internal yang berujung pada desersi para kadernya untuk membentuk PPPR, eksistensi partai sebagai pijakan perjuangan umat Islam perlahan juga tergerus. Benih-benih ketidakkonsistenan dalam memperjuangkan demokrasi dan moral agama mulai nampak. Itu ditunjukkan dengan perilaku politik menghalalkan segala cara yang dicerminkan oleh kader-kader PPP di legislatif dalam bentuk permainan politik uang (money politic), maupun berpolitik demi kepentingan pribadi.

Memang, contoh diatas tak bisa digeneralisir pada semua pihak, namun tentu ini adalah beban yang tak mungkin ditanggalkan. “Terjerumusnya” kader-kader PPP dalam upaya penciptaan instabilitas demokrasi harus segera diakhiri. PPP harus mulai berikhtiar kembali untuk berdiri pada barisan terdepan bagi tegaknya tertib politik dalam koridor konstitusional.

Sebagai Partai Islam, tidak bisa tidak, kader-kader PPP sejatinya menjaga citra dan jati diri partai dengan cara-cara berpolitik yang santun, ramah dan beradab. Karena, dengan perilaku itulah, moral agama yang selama ini selalu diusung PPP dalam alam demokrasi yang berjalan tidak sehat dapat tetap kokoh berdiri. Harus dipahami, pemosisian sikap seperti itu merupakan investasi politik mahal bagi kokohnya eksistensi partai di masa depan.

Tentu, dengan menyadari kondisi riil politik seperti diatas, akan memudahkan PPP dalam memahami dan berhitung dalam kontes pemilu 2004. Persoalannya, apakah dalam diri kader-kader PPP mempunyai komitmen kuat untuk tetap konsisten memposisikan PPP sebagai wadah aspirasi umat yang terpercaya ? Jika jawabnya, Ya; adakah strategi dan arah kebijakan yang dapat menghantarkan PPP, sebagai satu-satunya Partai Islam yang mampu memberi kontribusi sekaligus artikulator kepentingan rakyat ? Jawaban kembali berpulang pada kader-kader PPP. Dan, disinilah, dibutuhkan penajaman daya baca realitas empiris yang berkembang di masyarakat. Sungguh, jika kondisi ini secara konsisten dapat diterapkan, sukses pemilu 2004 bukan satu hal yang mustahil.

PPP dan Perilaku Politik Umat

Catatan penting yang tak dapat disangkal, di era multi partai, pada Pemilu 1999, meski banyak partai berideologikan agama serta underbouw Ormas Islam, PPP tetap dapat meraih posisi tiga, setelah PDI-P dan Golkar. Padahah, jika diingat, banyak kalangan yang meramalkan "karir politik" PPP telah usai. Apalagi, kala itu PBNU telah tegas-tegas melontarkan bahwa "anak sah" NU adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sementara PP. Muhammadiyah sendiri, telah merelakan Amien Rais terpilih sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Kekhawatiran banyak pihak bahwa massa PPP akan mengalami eksodus besar-besaran memang terjadi, khususnya di Jawa Timur. Namun, ini semua tidak membuat prestasi di tingkat nasional juga mengalami penggerusan. Bahkan di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, PPP masih mendapat hati masyarakat dan menjadi parpol yang diperhitungkan di kancah politik regional. Nampak bahwa eksistensi sebagai partai tetap dapat ditopang oleh infrastruktur, serta massa fanatiknya.

Namun demikian, jatuhnya suara PPP di Jawa Timur harus pula ditanggapi secara serius. Memang, tak dapat dielakkan jika kekalahan telak PPP di Jawa Timur lebih disebabkan oleh eksodusnya warga NU dan umat Islam lain yang bercirikan tradisional dan fanatik terhadap kultur ideologis. Sehingga teramat pantas, jika ketidaksiapan menghadapi resiko reformasi dan kondisi budaya menjadikan PPP mengalami cultural shock, yang berakhir pada hengkangnya jutaan pendukung PPP ke parpol lain.

Jelas, ini semua akibat tiadanya antisipasi sedini mungkin terhadap munculnya partai-partai berbasis agama; disamping keragu-raguan PPP untuk memposisikan perannya dalam perpolitikan tanah air. Karena, lazimnya sebuah partai, saat itu PPP berada di ujung jalan bercabang. Ujung kanan dihuni parpol beridentitas agama dan memiliki kedekatan kultural dengan Ormas Islam (PKB dengan NU, PAN dengan Muhammadiyah, dan PBB dengan eks Masyumi), sementara PPP hanya dapat mengklaim dekat secara historis dengan ketiga Ormas Islam tersebut. Sementara diujung kiri, dihuni partai beraliran majemuk dan nasionalis yang direpresentasikan merupakan wakil masyarakat umum, priyayi, abangan. Disini, jika dilihat dari sudut pandang ideologis, sebagai partai berazas Islam, PPP bukanlah pilihan yang menarik.

Karenanya, bagi PPP Jawa Timur, Pemilu 2004 jelas merupakan momentum terpercaya untuk menguji kemampuan kader-kadernya dalam membaca riil politik sekaligus menakar program kerjanya selama ini, tentu dengan tak menafikan kemungkinan perbaikan atas program kerja yang tak menyentuh dan kurang berkenan di hati rakyat.

Yang perlu dipahami oleh kader-kader PPP adalah, bahwa citra politik Islam yang melekat pada PPP tidak lantas membuat umat Islam sendiri tertarik dengan PPP. Karena -- sejarah telah mencatat -- pandangan bahwa parpol Islam merupakan satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam jelas tidak mempunyai landasan yang kuat. Bahkan, meskipun beberapa bagian umat Islam berafiliasi dalam parpol Islam, namun menggeneralisasikan umat Islam berada dalam irama politik yang sama adalah pandangan yang kurang mendapat pijakan historis yang kokoh.

Polarisasi perilaku politik umat Islam, yang ditunjukkan dengan banyaknya berdiri Partai berlabel Islam serta kekisruhan kampanye pemilu yang kerapkali melibatkan dua kubu umat Islam yang berbeda aspirasi politik, merupakan cermin betapa umat Islam tidak berada dalam keragaman visi. Belum lagi, yang harus dipahami bahwa nyata-nyata jika parpol “non Islam”-pun juga turut memperjuangkan politik umat Islam.

Sehingga, dapat pula ditegaskan disini, jika dulu prestasi gemilang PPP di setiap SU MPR selalu saja dapat menangkal upaya sekulerisasi dan pendangkalan aqidah Islam, jelas itu lebih bersifat sebagai counter ideologis.

Sehingga, wajar, jika di setiap pemilu, PPP selalu berada dalam "posisi berbeda" dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Karena, meski mayoritas masyarakatnya muslim, tidak lantas menjadikan negara mendudukkan Islam dalam posisi yang seharusnya, yakni menjadi bingkai dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan masyarakat muslim-pun kerapkali tak rela untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam derap hidupnya. Untuk itulah, sudah saatnya kini, PPP mulai berfikir untuk mampu memadukan strategi politik yang bercorak struktural formalistic dan kontekstual substantif. Karena, ditengah kondisi masyarakat beragama yang pluralistik, jelas tak mungkin memposisikan PPP bercorak struktural formalistic saja.

Di tengah perilaku umat yang terus dalam posisi mengambang, strategi diatas-lah yang kini dianggap tepat untuk mensosialisasikan perjuangan PPP. Dengan prioritas pada pemenuhan hak hidup rakyat-lah, posisi tawar PPP sebagai partai Islam dapat dinaikkan. Namun demikian, hal ini bukan perkara mudah. Dalam konteks internal, membangun kesadaran dan strategi baru di tengah kader PPP tentu membutuhkan keseriusan dan kerja intensif. Harus ada upaya dari kita, untuk secara konsisten, menciptakan pandangan bahwa adanya sandaran politik formal -- yakni PPP --, Islam justru dapat bergerak lebih luwes, dan hak hidup rakyat juga terjamin.

Strategi dan Arah Kebijakan

Pijakan yang kuat dalam meraih sukses pemilu adalah kondisi lazim bagi sebuah parpol, tidak terkecuali PPP. Untuk itulah, setidaknya harus mulai dirumuskan perencanaan yang matang dalam mengatur strategi pemenangan sekaligus penentuan arah kebijakan yang bersifat konkret. Pemetaan kekuatan parpol, analisis potensi pemilih setiap daerah, dan perumusan kekuatan dan kelemahan kader-kader PPP, jelas merupakan pekerjaan yang mutlak harus segera diimplementasikan sedini mungkin.

Sebagai salah satu langkah penting dalam rangka mempersipakan perencanaan tersebut adalah memperkirakan berbagai kemungkinan, baik dalam kaitan internal maupun dalam hubungan eksternal. Dan salah satu alat yang belakangan ini sering dikembangkan adalah apa yang dinamakan Analisis SWOT -- Strenghts (Kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (Peluang), dan Threats (Ancaman). Maksud dari analisis ini adalah untuk meneliti dalam sarana manakah PPP kuat dan dalam sarana manakah PPP lemah. Jadi, kekuatan dan kelemahan ada dalam tubuh PPP (internal), sedangkan peluang dan ancaman berasal dari luar PPP (eksternal).

Dalam mengatur strategi serta menentukan arah kebijakan yang ada, setidaknya perlu diupayakan adanya pendidikan politik (political education) di kalangan kader-kader PPP. Langkah ini harus dilakukan secara intensif, konsisten, dan komprehensif, untuk meningkatkan pengetahuan politik kader dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik yang ada. Proses pendidikan politik harus disertai upaya penanaman etika dan moral politik Islam, karena disinilah jati diri dan eksistensi PPP sebagai Partai Islam dapat tetap kokoh berdiri. Di dalam pendidikan politik itulah secara alamiah akan terjadi proses komunikasi politik (political communication), bertemunya kepentingan (interest articulation), dan seleksi kepemimpinan (political selection). Ketiga hal inilah yang nanti menjadi landasan kuat bagi kader untuk mengatur dan menentukan strategi yang tepat dalam meraih sukses pemilu.

Tujuan dari proses pendidikan politik adalah menyamakan visi perjuangan kader-kader PPP. Dengan kesamaan visi perjuangan yang disertai penajaman daya baca terhadap persoalan empiris umat akan dapat melahirkan bangunan PPP yang kokoh dan tahan uji. Disamping itu, pendidikan politik secara tidak langsung merupakan konsolidasi dalam memperkuat struktur organisasi dan kader partai. Dengan pendidikan politik yang berbuah konsolidasilah, harapannya, tak lagi ada perdebatan unsur; melainkan akan lahir partai yang lebih berwajah inklusif. Dengan sandaran itu, sosialisasi program kerja PPP dalam konteks yang konkret dapat mudah diimplementasikan. Dan kader PPP tidak lagi terjebak pada retorika emosional yang cenderung berujung pada intrik politik yang kasar dan tak beradab.

Setidaknya ada empat program yang harus segera diimplementasikan dalam era multi partai dan kondisi masyarakat majemuk :

Pertama , mewujudkan program yang menyentuh hak hidup rakyat. Peran PPP harus mengarah pada penguatan hak-hak ekonomi rakyat untuk berproduksi dan berdistribusi melalui koperasi, UKM dan pemberian pendidikan wirausaha secara egaliter. Sudah tidak pada tempatnya, promosi partai dilakukan selama empat puluh hari masa kampanye pemilu, yang cenderung lebih menunjukkan janji-janji politik semata. Karena, saat ini masyarakat adalah individu cerdas yang dapat memilah secara jernih mana partai yang serius memperjuangkan haknya, mana yang tidak.

Kedua, memperluas basis dukungan partai. Posisi sebagai Partai Islam, sudah seharusnya tidak membuat PPP terkotak dan tersegmentasi dalam arah perjuangannya. Sebagai pengemban misi Islam, rahmatan lil alamin, PPP hendaknya memperluas basis dukungannya tidak hanya sebatas pada komunitas santri. Basis dukungan dari kaum terpelajar, birokrat, pengusaha, disamping dukungan riil dari komunitas santri harus terus digalang. Karena, pada kelompok itulah, diharapkan akan muncul ide-ide cerdas yang dapat mendukung program kerja partai. Semakin luas basis dukungan menunjukkan bukti bahwa PPP merupakan partner efektif bagi terbentuknya masyarakat madani.

Ketiga, mensosialisasikan konsep pembangunan otonom. Program ini tak bisa ditawar, jika PPP ingin mendapat respon positif dari masyarakat. Karena, konsep daerah otonomi merupakan manifestasi perjuangan politik lokal yang jauh hari telah digagas oleh banyak kelompok di tingkat regional. Tentu, model-model kemitraan dalam menawarkan konsep pembangunan otonom dan penguatan ekonomi dan politik lokal menjadi keharusan bagi perjuangan PPP.

Keempat, mempertegas peran politik PPP sebagai partai Islam. Dalam kerangka ini, PPP harus bisa menampilkan Islam sebagai agama inklusif yang mampu mengakomodasi unsur maupun elemen Islam manapun. Disinilah, upaya simbolisasi Partai sebagai alat perjuangan Islam harus dibungkus dengan program nyata yang menyentuh kehidupan masyarakat.

Akhirnya, hanya dengan komitmen, konsistensi, dan kesungguhanlah upaya dan cita-cita perjuangan partai untuk meraih sukses pemilu 2004 dapat tercapai. Semoga



1 Disampaikan pada Diklat LKL dan Instruktur LKD PPP Jawa Timur, Hotel ASIDA Batu, 5 April 2002

2 Ketua DPW PPP Jawa Timur

Label:

Peran Strategis Ulama dalam Politik PPP

PERAN STRATEGIS ULAMA DALAM POLITIK PPP1

A. Hafidz Ma’soem2

Elemen penting tetap dipercayanya PPP sebagai wadah politik umat terpercaya adalah keberadaan ulama. Kerapkali posisi ulama PPP menjadi dasar berpijak parpol lain dalam melakukan aliansi maupun setiap pengambilan keputusan terkait dengan hak hidup rakyat. Pendeknya, ulama dalam politik PPP tak pernah terabaikan dalam setiap pengambilan keputusan strategis; baik dalam pentas politik nasional maupun kebijakan negara.

Posisi sentral ulama PPP tersebut tentu memiliki arti tersendiri bagi perjalanan politik PPP masa depan. Pasalnya, sebagai pengemban misi Islam, ulama-lah pilar utama PPP dalam memperluas basis dukungannya di komunitas masyarakat muslim. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum jika di setiap prosesi pemilu, ulama menjadi daya pikat untuk menarik massa. Yang menjadi persoalan, apakah posisi ulama PPP memang terbatas sebagai alat hipnotis massa untuk memperoleh tambahan suara dalam pemilu ? Ataukah sekedar simbol atas pemosisian PPP sebagai partai islam? Pertanyaan ini lazim mengemuka, mengingat dalam beberapa parpol, peran ulama saat ini kerapkali lebih cenderung digunakan sebagai alat politik dan mobilisasi massa ketimbang penjaga moral politik Islam.

Akibatnya, Islam -- dan ulama didalamnya -- menjadi barang dagangan politik setiap parpol menjelang Pemilu. Islam menjadi terkebiri dan ulama-pun menjadi simbol perusak nilai-nilai luhur Islam. Disini dapat dipandang bahwa politik hanya dipahami sebagai perjuangan mencapai kekuasaan, dan menutup kontribusi Islam terhadap politik secara umum. Padahal Islam dan ulama seharusnya dapat menjadi sumber inspirasi politik.

Yang patut dipahami, Islam sebagai agama dan ulama sebagai simbol agama seharusnya tidak hanya dijadikan kedok untuk menarik simpati masyarakat semata. Politik Islam-pun seharusnya juga tidak hanya dipahami sekedar sarana menduduki posisi dan otoritas formal dalam struktur kekuasaan. Artinya, Islam dan politik harus dipahami mempunyai titik singgung erat bila keduanya dipahami sebagai sarana menata hidup masyarakat.

Untuk itulah, dalam konteks politik PPP, ulama seharusnya tidak sekedar sebagai simbol penarik massa, tetapi juga sebagai pilar sekaligus motor politik dalam menata hidup masyarakat. Ulama PPP harus mampu menjembatani adanya diskomunikasi dan disinformasi yang terjadi dikalangan elite politik PPP maupun masyarakat pada umumnya terkait masalah politik islam. Anggapan yang salah tentang politik dan kekuasaan tentu berakibat fatal bagi perjalanan PPP di masa depan. Disinilah peran strategis yang harus dilakukan oleh ulama PPP; yakni memberi landasan yang benar dan pemahaman yang komprehensif tentang politik dalam konteks moral Islam.

Peran ini pantas dilakukan ulama PPP, karena disinilah elite PPP dalam gejolak politik seringkali terjebak dalam perilaku politik yang tak ramah dan jauh dari etik Islam. Bahkan moralitas amar ma’ruf nahi munkar kerapkali diabaikan sementara perburuan kekuasaan justru menjadi prioritas.

Pemosisian peran ulama diatas tentu memerlukan kesadaran tinggi dari elite politik PPP, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam dalam setiap perilaku politiknya. Ulama PPP harus berada di garda terdepan untuk mengikis dan meninggalkan cara-cara tradisional dengan mengeksploitasi emosi massa pada simbol-simbol Islam. Yang lebih penting lagi ulama PPP mampu menjadi pengawal bagi elite PPP dalam mengorganisir kader politik PPP agar lebih lentur dan punya cakrawala luas, serta punya kejelian menganalisis masalah sosial dan politik, agar pada gilirannya kelompok politisi PPP tidak selalu berada di pinggiran.

Islam sendiri memberi isyarat, bahwa kekuasaan memang bukan tujuan dari politik kelompok muslim. Tujuan utama berpolitik adalah mengupayakan perbaikan budaya politik atau pelurusan pengelolaan kekuasaan dan menghimbau elite politik untuk menjadi moralis politik. Dalam pandangan Islam, politik hanyalah salah satu medium terpenting untuk mencapai tujuan dakwah, jadi bukan sebaliknya, dakwah dijadikan medium untuk mencapai tujuan politik; yaitu politik yang terlepas dari kendali moral.

Wawasan politik politisi PPP yang masih bercorak paternalistik di satu pihak, serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil, yang menjadi tugas berat ulama PPP untuk menyadarkannya. Memang, keberhasilan peran ulama PPP disini sangat bergantung pada keluasan pandangan para politisi PPP , kedalaman memaknai ajaran Islam secara utuh, sekaligus keluasan cakrawala masyarakat di luar kekuatan politik PPP melihat potensi dan moral islam dalam mengarahkan proses kehidupan bangsa untuk mencapai tujuan yang dicitakan.

Ulama PPP harus memberi penyadaran, bahwa soal politik bukan sekedar soal menyalurkan aspirasi untuk menegakkan kekuasaan semata, tetapi soal menata kehidupan lebih mashlahat untuk umat. Karena itu yang terpenting bukan penguasaan struktur politik formal dengan mengabaikan proses kulturisasi politik dengan warna yang lebih islami. Justru kulturisasi politik harus lebih didahulukan untuk menjamin terwujudnya pilar-pilar masyarakat madani dan implementasi nilai-nilai Islam di seluruh komunitas masyarakat.

Kesadaran Kultural

Lantas, kesimpulan apa yang dapat diambil dari pandangan diatas ? Jika dikaitkan dengan digelarnya silaturahmi kyai-kyai PPP di Surabaya ini, tentu harapan besar ada di pundak ulama, khususnya ulama PPP. Apa sebab ? Pemosisian PPP sebagai partai berazas Islam serta mempunyai cita-cita luhur yakni mengupayakan implementasi syariat Islam di penjuru negeri; tentu merupakan sebab dimana ulama PPP dituntut peran besar didalamnya.

Bagaimana tidak, secara kultural dalam masyarakat tradisional, ulama masih dianggap sebagai pemimpin yang patut dipatuhi. Artinya, posisi strategis secara kultural tersebut tentu mampunyai makna bahwa tegaknya syariat Islam secara kultural harus dimulai dengan kepercayaan penuh masyarakat terhadap keberadaan ulama. Namun, berharap bahwa ulama adalah satu-satunya elemen yang harus berjuang menegakkan syariat Islam tentu merupakan kesalahan besar. Tetap harus ada kesadaran kolektif dari seluruh lapisan umat Islam – khususnya elite dan konstituen PPP – bahwa konsepsi Islam dalam bernegara dan bermasyarakat akan membawa rahmat bagi semua umat.

Kesadaran kultural itulah yang harus juga menjadi dasar berpijak seluruh kekuatan umat islam untuk melakukan langkah perjuangan berikutnya, di tingkat struktural; yakni politik kekuasaan. Dan kesadaran tersebut tentu harus disertai sikap terbuka dan rendah hati semua pihak untuk melakukan kerjasama dalam konteks politik maupun sosial budaya. Kerjasama atau aliansi politik antar parpol Islam merupakan kebutuhan mutlak untuk merealisasikan cita-cita tegaknya syariat Islam secara nasional.

PPP -- dan ulama PPP didalamnya -- sebagai Parpol Islam , harus mampu menjadi inisiator atas terjalinnya kerjasama/ aliansi permanen untuk menggapai citai-cita luhur tersebut. Ini dilakukan, karena perjuangan menegakkan syariat Islam bukanlah pekerjaan ringan yang berhasil dalam jangka pendek. Pekerjaan ini adalah pekerjaan jangka panjang yang menuntut keseriusan dan kesamaan pandangan antar parpol dan kekuatan Islam lain, meski dilakukan dengan strategi dan cara berbeda.

Dan disinilah pentingnya kulturisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural yang menjadi agenda bersama parpol Islam. Bahkan perlu diupayakan adanya keseimbangan antara proses kulturisasi politik dengan proses politik struktural, agar tidak ada kesenjangan antara dua proses itu. Hal ini sangat penting untuk menghindari kecurigaan yang sering muncul dari kalangan elite politik formal terhadap aktivitas politik melalui jalur kultural.

Keserasian langkah dalam memperjuangkan tegaknya syariat Islam serta kesadaran yang ditunjukkan dengan tidak saling hujat satu sama lain – dalam konteks aliansi parpol/ormas Islam, tentu merupakan modal utama bagi umat Islam untuk turut serta mendorong bagi cepat terwujudnya negara sejahtera sesuai dengan cita-cita dasar Islam.

1 catatan sederhana untuk para alim ulama PPP, pada acara silaturahmi kyai-kyai PPP , di R.M Taman Hapsari, Surabaya, 18 Juli 2009.

2 Anggota MPP DPP PPP

Label: