Selasa, 07 Juli 2009

Strategi dan Arah Kebijakan PPP Jatim menuju Pemilu 2004

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PPP JATIM MENUJU PEMILU 20041

A. Hafidz Ma’soem2

Sisa waktu menuju pemilu 2004 dua tahun lagi, namun persinggungan politik dan wacana pemilu hampir tiap hari menghiasi pemberitaan media massa. Lazimnya sebuah kompetisi, setiap peserta telah menyiapkan bermacam jurus dan strategi untuk berlaga demi meraih predikat juara. Begitupun Pemilu, setiap kontestan jauh hari telah menyiapkan strategi dan membentuk lembaga pemenangan. Dan, bagi sebuah parpol, perencanaan adalah kebutuhan mutlak yang menjadi agenda utama. Karena, Pemilu-lah indikator paling representatif yang dapat dijadikan acuan apakah parpol tersebut diminati rakyat atau tidak. Pemilu juga hingga kini masih dipercaya sebagai media efektif untuk meraih kekuasaan politik.

Ironisnya, saat ini justru banyak parpol mengalami konflik internal serius. Bahkan beberapa diantaranya saling bersitegang dan menciptakan instabilitas demokrasi. Jika diamati, terlihat ketidakmampuan parpol dalam menciptakan tertib politik. Dalam batas itu saja, dapat dibaca bahwa sesungguhnya parpol belum siap berlaga dalam kontes pemilu. Apalagi sampai detik ini rakyat makin ragu akan konsistensi parpol dalam memperjuangkan aspirasi-nya.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sendiri tengah mengalami gejala serupa. Disamping tengah mengalami friksi internal yang berujung pada desersi para kadernya untuk membentuk PPPR, eksistensi partai sebagai pijakan perjuangan umat Islam perlahan juga tergerus. Benih-benih ketidakkonsistenan dalam memperjuangkan demokrasi dan moral agama mulai nampak. Itu ditunjukkan dengan perilaku politik menghalalkan segala cara yang dicerminkan oleh kader-kader PPP di legislatif dalam bentuk permainan politik uang (money politic), maupun berpolitik demi kepentingan pribadi.

Memang, contoh diatas tak bisa digeneralisir pada semua pihak, namun tentu ini adalah beban yang tak mungkin ditanggalkan. “Terjerumusnya” kader-kader PPP dalam upaya penciptaan instabilitas demokrasi harus segera diakhiri. PPP harus mulai berikhtiar kembali untuk berdiri pada barisan terdepan bagi tegaknya tertib politik dalam koridor konstitusional.

Sebagai Partai Islam, tidak bisa tidak, kader-kader PPP sejatinya menjaga citra dan jati diri partai dengan cara-cara berpolitik yang santun, ramah dan beradab. Karena, dengan perilaku itulah, moral agama yang selama ini selalu diusung PPP dalam alam demokrasi yang berjalan tidak sehat dapat tetap kokoh berdiri. Harus dipahami, pemosisian sikap seperti itu merupakan investasi politik mahal bagi kokohnya eksistensi partai di masa depan.

Tentu, dengan menyadari kondisi riil politik seperti diatas, akan memudahkan PPP dalam memahami dan berhitung dalam kontes pemilu 2004. Persoalannya, apakah dalam diri kader-kader PPP mempunyai komitmen kuat untuk tetap konsisten memposisikan PPP sebagai wadah aspirasi umat yang terpercaya ? Jika jawabnya, Ya; adakah strategi dan arah kebijakan yang dapat menghantarkan PPP, sebagai satu-satunya Partai Islam yang mampu memberi kontribusi sekaligus artikulator kepentingan rakyat ? Jawaban kembali berpulang pada kader-kader PPP. Dan, disinilah, dibutuhkan penajaman daya baca realitas empiris yang berkembang di masyarakat. Sungguh, jika kondisi ini secara konsisten dapat diterapkan, sukses pemilu 2004 bukan satu hal yang mustahil.

PPP dan Perilaku Politik Umat

Catatan penting yang tak dapat disangkal, di era multi partai, pada Pemilu 1999, meski banyak partai berideologikan agama serta underbouw Ormas Islam, PPP tetap dapat meraih posisi tiga, setelah PDI-P dan Golkar. Padahah, jika diingat, banyak kalangan yang meramalkan "karir politik" PPP telah usai. Apalagi, kala itu PBNU telah tegas-tegas melontarkan bahwa "anak sah" NU adalah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sementara PP. Muhammadiyah sendiri, telah merelakan Amien Rais terpilih sebagai Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN).

Kekhawatiran banyak pihak bahwa massa PPP akan mengalami eksodus besar-besaran memang terjadi, khususnya di Jawa Timur. Namun, ini semua tidak membuat prestasi di tingkat nasional juga mengalami penggerusan. Bahkan di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, PPP masih mendapat hati masyarakat dan menjadi parpol yang diperhitungkan di kancah politik regional. Nampak bahwa eksistensi sebagai partai tetap dapat ditopang oleh infrastruktur, serta massa fanatiknya.

Namun demikian, jatuhnya suara PPP di Jawa Timur harus pula ditanggapi secara serius. Memang, tak dapat dielakkan jika kekalahan telak PPP di Jawa Timur lebih disebabkan oleh eksodusnya warga NU dan umat Islam lain yang bercirikan tradisional dan fanatik terhadap kultur ideologis. Sehingga teramat pantas, jika ketidaksiapan menghadapi resiko reformasi dan kondisi budaya menjadikan PPP mengalami cultural shock, yang berakhir pada hengkangnya jutaan pendukung PPP ke parpol lain.

Jelas, ini semua akibat tiadanya antisipasi sedini mungkin terhadap munculnya partai-partai berbasis agama; disamping keragu-raguan PPP untuk memposisikan perannya dalam perpolitikan tanah air. Karena, lazimnya sebuah partai, saat itu PPP berada di ujung jalan bercabang. Ujung kanan dihuni parpol beridentitas agama dan memiliki kedekatan kultural dengan Ormas Islam (PKB dengan NU, PAN dengan Muhammadiyah, dan PBB dengan eks Masyumi), sementara PPP hanya dapat mengklaim dekat secara historis dengan ketiga Ormas Islam tersebut. Sementara diujung kiri, dihuni partai beraliran majemuk dan nasionalis yang direpresentasikan merupakan wakil masyarakat umum, priyayi, abangan. Disini, jika dilihat dari sudut pandang ideologis, sebagai partai berazas Islam, PPP bukanlah pilihan yang menarik.

Karenanya, bagi PPP Jawa Timur, Pemilu 2004 jelas merupakan momentum terpercaya untuk menguji kemampuan kader-kadernya dalam membaca riil politik sekaligus menakar program kerjanya selama ini, tentu dengan tak menafikan kemungkinan perbaikan atas program kerja yang tak menyentuh dan kurang berkenan di hati rakyat.

Yang perlu dipahami oleh kader-kader PPP adalah, bahwa citra politik Islam yang melekat pada PPP tidak lantas membuat umat Islam sendiri tertarik dengan PPP. Karena -- sejarah telah mencatat -- pandangan bahwa parpol Islam merupakan satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam jelas tidak mempunyai landasan yang kuat. Bahkan, meskipun beberapa bagian umat Islam berafiliasi dalam parpol Islam, namun menggeneralisasikan umat Islam berada dalam irama politik yang sama adalah pandangan yang kurang mendapat pijakan historis yang kokoh.

Polarisasi perilaku politik umat Islam, yang ditunjukkan dengan banyaknya berdiri Partai berlabel Islam serta kekisruhan kampanye pemilu yang kerapkali melibatkan dua kubu umat Islam yang berbeda aspirasi politik, merupakan cermin betapa umat Islam tidak berada dalam keragaman visi. Belum lagi, yang harus dipahami bahwa nyata-nyata jika parpol “non Islam”-pun juga turut memperjuangkan politik umat Islam.

Sehingga, dapat pula ditegaskan disini, jika dulu prestasi gemilang PPP di setiap SU MPR selalu saja dapat menangkal upaya sekulerisasi dan pendangkalan aqidah Islam, jelas itu lebih bersifat sebagai counter ideologis.

Sehingga, wajar, jika di setiap pemilu, PPP selalu berada dalam "posisi berbeda" dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Karena, meski mayoritas masyarakatnya muslim, tidak lantas menjadikan negara mendudukkan Islam dalam posisi yang seharusnya, yakni menjadi bingkai dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan masyarakat muslim-pun kerapkali tak rela untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam derap hidupnya. Untuk itulah, sudah saatnya kini, PPP mulai berfikir untuk mampu memadukan strategi politik yang bercorak struktural formalistic dan kontekstual substantif. Karena, ditengah kondisi masyarakat beragama yang pluralistik, jelas tak mungkin memposisikan PPP bercorak struktural formalistic saja.

Di tengah perilaku umat yang terus dalam posisi mengambang, strategi diatas-lah yang kini dianggap tepat untuk mensosialisasikan perjuangan PPP. Dengan prioritas pada pemenuhan hak hidup rakyat-lah, posisi tawar PPP sebagai partai Islam dapat dinaikkan. Namun demikian, hal ini bukan perkara mudah. Dalam konteks internal, membangun kesadaran dan strategi baru di tengah kader PPP tentu membutuhkan keseriusan dan kerja intensif. Harus ada upaya dari kita, untuk secara konsisten, menciptakan pandangan bahwa adanya sandaran politik formal -- yakni PPP --, Islam justru dapat bergerak lebih luwes, dan hak hidup rakyat juga terjamin.

Strategi dan Arah Kebijakan

Pijakan yang kuat dalam meraih sukses pemilu adalah kondisi lazim bagi sebuah parpol, tidak terkecuali PPP. Untuk itulah, setidaknya harus mulai dirumuskan perencanaan yang matang dalam mengatur strategi pemenangan sekaligus penentuan arah kebijakan yang bersifat konkret. Pemetaan kekuatan parpol, analisis potensi pemilih setiap daerah, dan perumusan kekuatan dan kelemahan kader-kader PPP, jelas merupakan pekerjaan yang mutlak harus segera diimplementasikan sedini mungkin.

Sebagai salah satu langkah penting dalam rangka mempersipakan perencanaan tersebut adalah memperkirakan berbagai kemungkinan, baik dalam kaitan internal maupun dalam hubungan eksternal. Dan salah satu alat yang belakangan ini sering dikembangkan adalah apa yang dinamakan Analisis SWOT -- Strenghts (Kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (Peluang), dan Threats (Ancaman). Maksud dari analisis ini adalah untuk meneliti dalam sarana manakah PPP kuat dan dalam sarana manakah PPP lemah. Jadi, kekuatan dan kelemahan ada dalam tubuh PPP (internal), sedangkan peluang dan ancaman berasal dari luar PPP (eksternal).

Dalam mengatur strategi serta menentukan arah kebijakan yang ada, setidaknya perlu diupayakan adanya pendidikan politik (political education) di kalangan kader-kader PPP. Langkah ini harus dilakukan secara intensif, konsisten, dan komprehensif, untuk meningkatkan pengetahuan politik kader dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politik yang ada. Proses pendidikan politik harus disertai upaya penanaman etika dan moral politik Islam, karena disinilah jati diri dan eksistensi PPP sebagai Partai Islam dapat tetap kokoh berdiri. Di dalam pendidikan politik itulah secara alamiah akan terjadi proses komunikasi politik (political communication), bertemunya kepentingan (interest articulation), dan seleksi kepemimpinan (political selection). Ketiga hal inilah yang nanti menjadi landasan kuat bagi kader untuk mengatur dan menentukan strategi yang tepat dalam meraih sukses pemilu.

Tujuan dari proses pendidikan politik adalah menyamakan visi perjuangan kader-kader PPP. Dengan kesamaan visi perjuangan yang disertai penajaman daya baca terhadap persoalan empiris umat akan dapat melahirkan bangunan PPP yang kokoh dan tahan uji. Disamping itu, pendidikan politik secara tidak langsung merupakan konsolidasi dalam memperkuat struktur organisasi dan kader partai. Dengan pendidikan politik yang berbuah konsolidasilah, harapannya, tak lagi ada perdebatan unsur; melainkan akan lahir partai yang lebih berwajah inklusif. Dengan sandaran itu, sosialisasi program kerja PPP dalam konteks yang konkret dapat mudah diimplementasikan. Dan kader PPP tidak lagi terjebak pada retorika emosional yang cenderung berujung pada intrik politik yang kasar dan tak beradab.

Setidaknya ada empat program yang harus segera diimplementasikan dalam era multi partai dan kondisi masyarakat majemuk :

Pertama , mewujudkan program yang menyentuh hak hidup rakyat. Peran PPP harus mengarah pada penguatan hak-hak ekonomi rakyat untuk berproduksi dan berdistribusi melalui koperasi, UKM dan pemberian pendidikan wirausaha secara egaliter. Sudah tidak pada tempatnya, promosi partai dilakukan selama empat puluh hari masa kampanye pemilu, yang cenderung lebih menunjukkan janji-janji politik semata. Karena, saat ini masyarakat adalah individu cerdas yang dapat memilah secara jernih mana partai yang serius memperjuangkan haknya, mana yang tidak.

Kedua, memperluas basis dukungan partai. Posisi sebagai Partai Islam, sudah seharusnya tidak membuat PPP terkotak dan tersegmentasi dalam arah perjuangannya. Sebagai pengemban misi Islam, rahmatan lil alamin, PPP hendaknya memperluas basis dukungannya tidak hanya sebatas pada komunitas santri. Basis dukungan dari kaum terpelajar, birokrat, pengusaha, disamping dukungan riil dari komunitas santri harus terus digalang. Karena, pada kelompok itulah, diharapkan akan muncul ide-ide cerdas yang dapat mendukung program kerja partai. Semakin luas basis dukungan menunjukkan bukti bahwa PPP merupakan partner efektif bagi terbentuknya masyarakat madani.

Ketiga, mensosialisasikan konsep pembangunan otonom. Program ini tak bisa ditawar, jika PPP ingin mendapat respon positif dari masyarakat. Karena, konsep daerah otonomi merupakan manifestasi perjuangan politik lokal yang jauh hari telah digagas oleh banyak kelompok di tingkat regional. Tentu, model-model kemitraan dalam menawarkan konsep pembangunan otonom dan penguatan ekonomi dan politik lokal menjadi keharusan bagi perjuangan PPP.

Keempat, mempertegas peran politik PPP sebagai partai Islam. Dalam kerangka ini, PPP harus bisa menampilkan Islam sebagai agama inklusif yang mampu mengakomodasi unsur maupun elemen Islam manapun. Disinilah, upaya simbolisasi Partai sebagai alat perjuangan Islam harus dibungkus dengan program nyata yang menyentuh kehidupan masyarakat.

Akhirnya, hanya dengan komitmen, konsistensi, dan kesungguhanlah upaya dan cita-cita perjuangan partai untuk meraih sukses pemilu 2004 dapat tercapai. Semoga



1 Disampaikan pada Diklat LKL dan Instruktur LKD PPP Jawa Timur, Hotel ASIDA Batu, 5 April 2002

2 Ketua DPW PPP Jawa Timur

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda