Selasa, 07 Juli 2009

Dilema Politik Internal NU

Catatan Untuk Cak Hasyim

Perhelatan Konferwil PWNU Jawa Timur di Ponpes Miftahul Ulum Al Yasini, Pasuruan telah usai (13/10), dengan meninggalkan beberapa catatan menarik bagi kehidupan politik warga Nahdliyin. Titik menariknya, antara lain, sebuah pesan dari Ketua PBNU Hasyim Muzadi (Cak Hasyim) agar warga Nahdliyin dapat mengembalikan posisi NU sebagai organisasi kemasyarakatan yang konsisten menapaki jalur kultural, dan memisahkan NU dari perseteruan politik. Bahkan, seakan ingin menunjukkan lengsernya NU dari gelanggang politik, Cak Hasyim menegaskan jika calon Gubernur Jatim mendatang tidak harus berasal dari kader NU. Menurutnya, warga NU akan tetap menghargai siapapun gubernurnya, asal dipilih secara konstitusional.

Pernyataan petinggi NU diatas menjadi amat penting jika dikaitkan dengan posisi NU dalam peta politik nasional. Karena, tak dapat dinafikan, jika setiap perubahan dalam konfigurasi politik selalu melibatkan NU didalamnya, apalagi jika hal tersebut menyangkut event pemilu. Posisi NU sebagai Ormas berbasis massa terbesar menjadi daya tarik tersendiri bagi hampir semua parpol.

Begitupun ketika dilema besar menyangkut hubungan internasional dengan negara lain maupun isu terorisme yang menerpa beberapa kelompok Islam garis keras, NU sebagai Ormas berada di garda terdepan dalam melakukan counter terhadap pemberitaan-pemberitaan yang menyudutkan eksistensi bangsa. Dalam menuntaskan masalah sosial, politik, dan keagamaan, beberapa tokoh NU yang tergabung dalam kiai khos juga kerapkali menjadi anutan masyarakat. Sehingga, dapat dipahami, jika kemudian NU kerapkali menjadi pusat perhatian dalam kehidupan sosial dan politik. Apa dan bagaimana NU berkiprah, baik dilakukan secara individu oleh tokoh-tokohnya maupun secara institusional, masyarakat akan selalu menyimak secara serius.

Persoalannya adalah, apakah pernyataan Cak Hasyim tersebut telah menjadi keputusan resmi NU ? Apakah semua elemen NU turut pula mendukung pernyataan tokoh NU yang kini sedang gencar-gencarnya menyuarakan sikap netralitas NU tersebut ? Jika Ya, tentu akan membawa implikasi positif bagi iklim politik nasional; namun jika hal tersebut masih menyisakan ketidakpuasan beberapa petinggi NU yang lain tentu dapat berdampak buruk bagi perjalanan NU ke depan.

Memang, tidak ada yang baru dan istimewa dari pernyataan Cak Hasyim tersebut. Bagi mereka yang tahu akan sejarah NU, pernyataan untuk mengembalikan NU dalam posisi perjuangan kulturalnya justru menjadi kelaziman dari posisi NU yang sebenarnya. Begitupun halnya soal netralitas di tengah banyaknya parpol yang ada, jelas adalah pilihan yang semestinya pasca kembali ke khittah pada 1984. Karena, pilihan tersebut justru adalah gerakan real yang akan mampu mengatasi permasalahan hak hidup masyarakat. Dan ini jelas lebih dibutuhkan oleh jam’iyah NU ketimbang posisinya saat menjelang dan pasca pemilu 1999 yang justru masuk dalam pusaran politik. Saat itu tak dapat disangkal bahwa warga NU justru tercabik-cabik dalam polarisasi parpol dan kepentingan yang berbeda.

Tentu semua politisi NU yang tersebar diberbagai parpol cukup mahfum jika pernyataan tersebut masih menyisakan sesuatu yang ganjil bagi tokoh dan politisi NU lainnya yang berlindung di bawah payung PKB. Apalagi, menjadi rahasia umum, PKB-lah satu-satunya parpol anak kandung resmi PBNU. Lantas jika kini Ketua Umum PBNU-nya justru menyerukan warganya untuk lengser dari hiruk pikuk politik dan bersikap netral terhadap semua parpol yang ada, tidakkah ini justru akan membuat kecewa para kader NU yang berada di PKB ? Bukankah, bagi sebagian tokoh NU, PKB-lah parpol yang paling representatif dalam mewakili aspirasi warga NU ?

Apa mau dikata, belum sempat warga NU merespon secara positif himbauan serta harapan Cak Hasyim di konferwil NU Jawa Timur tersebut, komentar miring yang mengganggu Ukhuwah Islamiyah dan kehidupan politik nasional kembali terkoyak. Dengan tanpa bukti dan dasar pijakan kuat, Gus Dur kembali berkomentar sangat sakartis, kali ini merespon isu terorisme di tanah air. Yang lebih merisaukan komentar itu dilakukan pasca peledakan bom di Legian - Bali. Menurut Gus Dur, pertemuan Hamzah Haz dengan para habaib dan komentarnya seputar terorisme dianggapnya sebagai bentuk dukungannya dengan gerakan terorisme. Bahkan, tanpa perlu klarifikasi, Gus Dur menganggap PPP-lah di belakang kelompok terorisme Indonesia. (Jawa Pos, 15/10)

Sungguh! Itu adalah tuduhan kasar dan sakartis yang dapat berdampak luas bagi suasana ukhuwah umat Islam. Tentu, jika tak segera diklarifikasi, perpecahan umat Islam – bahkan antar warga NU sendiri – dalam jangka panjang menjadi bayang-bayang menakutkan, yang sangat mungkin terjadi. Karena, tuduhan itu jelas tidak hanya mengarah pada eksistensi Hamzah Haz sebagai Wapres, PPP sebagai Parpol yang didalamnya sebagian besar adalah umat Nahdliyin, tetapi juga para habaib, kelompok Islam garis keras, maupun elemen-lemen Islam lainnya yang selama ini telah ramai-ramai meng-counter keberadaan terorisme di Indonesia.

Kini, tentu beban berat ada pada NU dan Cak Hasyim selaku nahkoda utama. Apakah NU juga turut terseret dengan wacana yang dilontarkan Gus Dur, atau secara jernih terlebih dulu mengkaji masalah yang terjadi. Yang menjadi persoalan, posisi Gus Dur saat ini masih menjadi pimpinan kultural yang kuat di sebagian besar warga NU. Dan, jika warga NU kembali tanpa reserve mengamini wacana yang dilontarkan Gus Dur – seperti dulu ketika ia menjadi Presiden – tentu akan membuat kondisi ukhuwah umat Islam akan terkoyak, dan posisi NU–pun akan jatuh dalam jurang yang tak berdasar.

Dan inilah yang terjadi di NU. Problem internal terhadap reposisi NU dalam kehidupan politik tanah air. Saat di satu pihak sang nahkoda, Cak Hasyim, telah berkampanye tanpa henti melepaskan NU dari jeratan politik dan kembali ke jalur kultural; tetapi di lain pihak komentar-komentar politis yang justru membawa NU ke perseteruan politik nasional, bahkan mengganggu ikatan ukhuwah islamiyah kerapkali terjadi.

Saat ini, hanya satu harapan yang dapat saya sampaikan pada Cak Hasyim , PBNU dan PWNU di daerah-daerah, yang masih melihat kebutuhan ukhuwah Islamiyah lebih penting ketimbang kepentingan sesaat. Memang, harus diakui dalam persoalan politik kerapkali kita sulit bersatu dalam kapal yang sama; apalagi jika para politisi dan parpol induknya mempunyai kepentingan yang berbeda dari misi serta tujuan perjuangan NU. Tapi saya yakin seyakin yakinnya, Cak Hasyim tidaklah sendiri. Sangat banyak tokoh, politisi, ulama, kyai dari komunitas NU dan elemen Islam lainnya yang berharap dan bersedia membantu NU agar selalu berada dalam posisi netral di kehidupan politik dan mengedepankan ukhuwah Islamiyah dalam perjuangan kulturalnya. Percayalah, lontaran tajam apapun yang justru menerpa eksistensi NU; justru merupakan I’tibar yang akan menjadikan NU makin dewasa dalam melangkah.

Jombang, 15 Oktober 2002

A. Hafidz Ma’soem

Ketua DPW PPP Jawa Timur


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda