Selasa, 07 Juli 2009

Eksistensi Keterwakilan Perempuan Dalam Lembaga-Lembaga Pengambilan Kebijakan Publik

Pidato Pembukaan Seminar Wanita

DPC PPP Jombang, 25 Maret 2003

di Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang


Kritik mendasar yang kerapkali disuarakan Ormas/LSM Perempuan menyangkut eksistensi perempuan adalah soal diskriminasi jumlah wakil perempuan dalam lembaga-lembaga publik, baik legislatif maupun eksekutif. Dominasi unsur laki-laki dalam parlemen misalnya, kerapkali menjadi sasaran protes kaum perempuan dan menjadi alasan bagi mereka untuk menolak produk kebijakan yang dihasilkan yang terkadang tidak mempertimbangkan suara perempuan. Bahkan tak jarang kritik itu-pun mengarah pada sejumlah Parpol yang tak memberi peran lebih pada perempuan, baik dalam penentuan kebijakan strategis Parpol maupun penentuan daftar calon tetap (DCT) anggota Legislatif. Sehingga jika kemudian muncul pemberlakuan kuota 30% anggota legislatif berasal dari unsur perempuan, wajar jika akhirnya banyak yang memberi apresiasi positif.

Bagi Ormas/LSM perempuan, dalam konteks politik, tentu pemberlakuan kuota 30% akan disambut gembira, apalagi jika bisa lebih. Karena, jelas bertambahnya unsur perempuan dalam lembaga legislatif secara kuantitatif akan mampu meningkatkan posisi tawar dalam pembahasan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perempuan sebagai titik sasarannya ataupun kebijakan publik lain yang menyangkut kesejahteraan dan hak hidup masyarakat luas.

Persoalannya, apakah bertambahnya (dominannya) keterwakilan perempuan di lembaga-lembaga publik, baik itu di legislatif maupun eksekutif mampu menjadi decision making (pembuat keputusan) bagi lembaga tersebut? Karena, tentu itu persoalan lain yang patut dibahas. Pasalnya, jika desakan keterwakilan perempuan hanya didasarkan pada keinginan bertambahnya wakil perempuan secara kuantitatif, jelas hal tersebut mengabaikan kebutuhan ideal bagi sebuah lembaga publik. Karena, selayaknya kebutuhan lembaga publik terhadap SDM -- baik itu laki-laki maupun perempuan -- adalah bagaimana SDM tersebut memberikan manfaat keberadaan dirinya bagi masyarakat. Jika kemudian bertambahnya wakil perempuan secara kuantitatif tersebut tak bisa memberi kontribusi ideal, apa yang patut dibanggakan dengan kehadiran perempuan ? Bukankah keinginan untuk eksis dalam lembaga publik juga seharusnya diimbangi dengan kesadaran peran serta kemampuan kualitas individu yang mumpuni. Karena, jika tidak, perempuan akan menjadi kerumunan massa yang seringkali mengekor pimpinannya, layaknya sebuah parpol yang saat ini berkuasa.

Pendeknya, seharusnya keterwakilan perempuan bukan saja didasarkan pada banyak sedikitnya perempuan di lembaga publik; tapi lebih didasarkan pada tingkat kualitas SDM yang dimiliki. Dan eksistensi perempuan disini harus ditunjukkan dengan tiga kemampuan dasar, yakni; leadership, manajerial, dan komunikasi (berbicara-argumentasi-lobby-menulis). Ketiga kemampuan dasar itulah yang menjadi syarat semua orang untuk berkiprah dalam organisasi, baik itu lembaga publik pemerintahan maupun non pemerintah, seperti ormas, LSM, atau orpol. Dan disinilah eksistensi perempuan pada akhirnya tidak diukur secara kuantitatif. Penilaian masyarakat akan tertuju pada kualitas individu, bukan paramater banyak sedikitnya suara.

Memang acapkali pandangan masyarakat masih minor terhadap kehadiran perempuan dalam wilayah publik; baik itu jika dikaitkan dengan perbedaan pandangan sebagian ulama atas posisi pemimpin perempuan dalam wilayah publik, maupun tradisi yang mengakar di masyarakat bahwa perempuan adalah manusia kelas dua. Namun, yang perlu menjadi perhatian, jangan kemudian pandangan itu menjadi penghambat perempuan untuk berkarya dan berprestasi. Karena pudarnya pandangan minor terhadap perempuan hanya dapat ditangkal oleh karya dan prestasi perempuan itu sendiri.

Dibukanya kran reformasi jelas akan menjadi entry point penting bagi perempuan untuk memaksimalkan perannya. Bagaimana tidak ? Saat inilah ruang bagi perempuan terbuka lebar untuk turut berpartisipasi membangun bangsa maupun memberi kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat. Apalagi, sudah banyak contoh perempuan telah berhasil dalam meraih posisi publik, maupun mewarnai dunia politik nasional. Bahkan beberapa Kabupaten sekarang telah dikepalai oleh seorang perempuan. Tuban, Kebumen, dan Nganjuk adalah contoh bahwa perempuan juga mendapat pengakuan yang sama dengan laki-laki.

Yang terpenting, parameter eksistensi haruslah diukur dengan kontribusi positif yang dapat diberikan seorang perempuan untuk masyarakat, bukan pada tataran kuantifikasi jumlah keterwakilan dalam lembaga legislatif, atau bahkan eksekutif.

Jombang, 25 Maret 2003

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda