Selasa, 07 Juli 2009

Kedudukan Guru TK dan SD dalam UU Guru dan Dosen

Oleh: A. Hafidz Ma’soem

Anggota Komisi X DPR RI dan Wakil Ketua Fraksi PPP

Alkisah di suatu daerah, ada perbincangan hangat nan akrab antara seorang ibu yang berprofesi sebagai guru dengan anaknya yang hendak menamatkan pendidikan di SMA. Perbincangan itu terkait erat dengan pilihan hidup sang anak ketika dia kelak menapaki karir di dunia kerja. Sang ibu bertanya, “Nak, sebentar lagi kau akan mengenyam pendidikan tinggi. Setelah itu, tentunya kau ingin bekerja bukan?” Sang anak menjawab. “Benar Ibu, aku tentu saja ingin bekerja.” “Pekerjaan apa yang kau inginkan Nak? Kau pasti ingin menjadi guru seperti Ibu ya?”, tanya ibu itu lagi. Jawab sang anak, “Tidak Ibu. Aku tak ingin menjadi guru. Guru adalah profesi pinggiran yang tak menjanjikan kesejahteraan. Lihat saja hidup kita yang sulit karena hanya mengandalkan gaji Bapak dan Ibu sebagai guru. Teman-temanku yang anak guru hidupnya juga tidak sejahtera. Aku tak mau nasibku terpuruk, Ibu.”

Jawaban sang anak itu barangkali dapat mewakili potret sesungguhnya tentang nasib seorang guru yang selalu mengalami kesulitan hidup. Memang, realitas kehidupan guru di setiap sudut negeri ini selalu mengabarkan betapa kesejahteraan senantiasa menjadi harapan kosong yang sukar tergapai. Pandangan umum selalu menunjukkan bahwa jika menjadi guru harus siap hidup susah.

Kita tentu sering mendengar cerita sedih bahwa guru selalu bergelut dengan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari karena gajinya tidak mencukupi. Bagi guru TK dan SD, cerita menjadi semakin menyedihkan lantaran jenjang pendidikannya yang rendah juga berimplikasi pada gaji yang lebih rendah dibanding guru lain sehingga kesulitan hidupnya kian berlipat.

Maka, tak heran jika untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, guru harus mencari lahan penghasilan di tempat lain. Akibatnya bisa ditebak, motivasi untuk mengembangkan kompetensi semakin terkubur, kesempatan untuk meningkatkan profesionalitas kian menghilang, dan tanggung jawab untuk mendidik siswa menjadi terabaikan. Siswa sebagai subyek utama pendidikan lantas menjadi korban tak berdosa dari terpuruknya nasib guru. Kualitasnya tidak pernah beranjak dari level pas-pasan. Karenanya, wajar jika rendahnya kualitas pendidikan masih betah bersemayam di bumi Indonesia.

Momentum Kebangkitan

Menyadari permasalahan kronis itu, pemerintah dan DPR berupaya mengatasinya dengan meningkatkan harkat dan martabat guru secara legal formal melalui UU Guru dan Dosen. Undang-undang yang disahkan pada tanggal 6 Desember 2005 itu diupayakan bisa menjadi momentum kebangkitan profesi guru. Sebab, di dalamnya

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda