Selasa, 07 Juli 2009

Otonomi dan Kegagalan Pengaturan Politik Lokal

OTONOMI DAN KEGAGALAN PENGATURAN POLITIK LOKAL1)

( catatan kritis untuk wakil rakyat)


A Hafidz Ma’soem2)

Otonomi daerah, meski mendapat reaksi positif yang berlebih; namun tak pelak tetap menyisakan sejumlah kekhawatiran. Tidak saja karena kurangsiapnya pemerintah daerah (eksekutif) mengatur sendiri potensi ekonomi lokal, tetapi juga kegamangan wakil rakyat (legislatif) di daerah dalam mengatur potensi konflik politik lokal.

Apa sebab ? Tidak lain, karena otonomi -- sebagai buah reformasi -- telah memberi ruang kebebasan yang lebih lebar bagi wakil rakyat di daerah dalam membuat ketentuan dan peraturan sendiri tentang perilaku politiknya. Seakan, tak ada lagi hukum atau ketetapan perundang-undangan yang menjadikan lembaga legislatif terbingkai dalam batas-batas perilaku politiknya. Bahkan, revisi UU Otonomi Daerah yang diajukan Mendagri dan menandaskan bahwa lembaga legislatif daerah (DPRD) dapat dibubarkan oleh rakyat, ditolak mentah-mentah oleh sebagian besar anggota DPRD.

Tentu, ini semua bisa berbuah berkah, atau sebaliknya bencana; bagi demokrasi. Karena, lazimnya demokrasi, tetap ada aturan yang membingkai sehingga pelaku demokrasi tak bisa berjalan sesuai aturannya sendiri. Tetapi, jika aturan itu bersifat mengekang kebebasan, justru berakibat mandulnya potensi pelaku demokrasi. Begitu juga yang terjadi dalam pengaturan politik lokal yang diterapkan di daerah. Anggota DPRD dapat secara bebas menyuarakan aspirasi, berteriak lantang menentang kebijakan pemda, dan bahkan dapat saja merubah RAPBD ataupun Raperda yang digagas eksekutif. Namun, anggota DPRD dapat pula terbatas kebebasan politiknya, saat ada aturan politik yang mengekangnya.

Dalam konteks tersebut, persoalan sesungguhnya bukan pada tiadanya aturan main bagi penerapan politik lokal, tetapi tetap berpulang pada anggota DPRD itu sendiri. Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD harusnya tetap mempunyai prinsip perilaku "atas nama rakyat". Tidak saja ini adalah bagian dari komitmen demokrasi tetapi juga keharusan perilaku politik yang amanah.

DPRD: Antara Cita dan Fakta

Jika sempat kita simak pemberitaan media massa sebulan terakhir, saling tuding atas kinerja kelembagaan negara antar legislatif dan eksektif nampak terjadi sangat serius. Ketua MPR Amien Rais menuding bahwa tiga lembaga negara telah mengalami pembusukan. Itu setelah tiadanya ketidaksepahaman dalam penentuan kebijakan ekonomi, baik seputar divestasi (penjualan kembali) saham BCA, kebijakan perpanjangan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), ataupun penjualan saham PT. Semen Gresik. Bagi Amien Rais, semua yang terlibat dalam persengketaan tersebut lebih bermuara pada penggerogotan aset negara demi kepentingan kelompok atau pribadi. Dan Amien menuding, Kementrian BUMN, Departemen Keuangan, dan Kementrian Koordinator Bidang Ekonomi, merupakan tiga lembaga yang selama ini ada dibalik pembusukan tersebut.

Tak pelak, tudingan balik terjadi. Tak hanya para pejabat eksekutif yang berteriak lantang, sebagian besar masyarakat-pun koor menuding, bahwa pembusukan juga terjadi di lembaga yudikatif dan legislatif.

Sulit disangkal keabsahannya, jika wakil rakyat saat ini lebih mementingkan kelompoknya ketimbang kepentingan negara dan bangsa. Berbagai intrik politik yang berujung pada perebutan kekuasaan tertinggi di Departemen Teknis maupun BUMN merupakan pemandangan yang kasat mata, dimana Legislatif lebih berperan sebagai mesin pengeruk uang partai, maupun pribadi.

Bahkan perilaku yang tidak santun itu-pun menular ke wakil rakyat di daerah. Sudah banyak cerita, jika perilaku para anggota DPRD juga tak jauh beda dengan anggota parlemen pusat. Simak saja, setiap terjadi pemilihan pimpinan daerah (gubernur/walikota/bupati) aroma politik uang sangat kental menusuk. Beberapa anggota DPRD bahkan tak canggung untuk menyebut angka sebagai posisi tawar satu kursi yang didudukinya. Banyak contoh dapat disebut, bahwa panorama politik uang telah menjadi bahan gunjingan publik yang jelas akan makin menyusutkan kewibawaan anggota DPRD dihadapan masyarakat. Sebut saja, pemilihan Wagub DI. Yogyakarta dan Gubernur Maluku Utara yang sudah santer disebut di media massa; juga beberapa pemilihan Bupati dan Wabup di Jawa Timur yang tak lepas dari permainan politik uang.

Sementara dalam melakukan fungsi dan tugas-tugasnya anggota DPRD juga banyak mengalami kesulitan peran. Sebut saja misalnya, dalam fungsi pembuatan keputusan, kelemahan wakil rakyat selama ini berasal dari kemampuan (tingkat pendidikan) yang tidak sebanding dengan eksekutif. Terlihat bahwa permasalahan internal yang dihadapi DPRD dalam memfungsikan secara optimal dalam proses pembuatan keputusan adalah kemampuan, keahlian, dan pengalaman. Sudah bukan rahasia lagi bahwa wakil rakyat di daerah masih memiliki tingkat pendidikan yang kurang sepadan dengan persoalan yang semakin hari semakin cepat. Belum lagi jika dibandingkan dengan pihak eksekutif yang jelas merupakan profesi karir jelas lebih paham atas permasalahan daerah yang terjadi ketimbang anggota legislatif. Namun ironisnya, kebebasanya mengeluarkan pendapat seringkali digunakan anggota legislatif untuk bersuara tanpa tahu duduk permasalahannya.

Begitupun dalam hal fungsi legitimasi. DPRD tampaknya baru menjalankannya pada aras pragmatis, dan perlu dikembangkan sehingga mencapai aras esensisal. Fungsi pengawasan telah beralih fungsi menjadi sikap arogansi kekuasaan anggota DPRD

Ucapan, “yang penting vokal” dan “dimuat di media massa”, meski tak relevan dengan persoalan yang ada, lebih dikedepankan oleh sebagian anggota DPRD. Akibatnya, politik uang-pun bisa bermain ! Sehingga, wajar jika setiap penetapan RAPBD maupun Raperda selalu saja harus disediakan sejumlah rupiah untuk meloloskannya.

Dapat dipahami, jika panorama kerakusan sejumlah wakil rakyat daerah sungguh menodai citra lembaga legislatif. Dan, mereka yang mengabaikan rambu-rambu moral sebenarnya merupakan pihak-pihak yang secara langsung atau tidak telah membusukkan lembaga legislatif. DPRD, hampir-hampir tak lagi sebagai lembaga artikulasi kepentingan rakyat. Bahkan, partai sebagai lembaga yang juga terwakili dalam setiap keputusan yang dihasilkan wakil-wakilnya di DPRD-pun tak dapat berbuat banyak. Penghapusan lembaga recall dan tiadanya aturan main bagi anggota DPRD sebagai wakil rakyat dan wakil partai membuat Partai-pun cukup kesulitan untuk membingkai wakilnya di legislatif. Proses inilah yang mengakibatkan nasib lembaga legislatif akan semakin degradatif pada masa mendatang.

Bagaimana dengan sikap masyarakat ? Jika tak ada aturan main, jelas yang dapat dilakukan masyarakat hanyalah pembalasan politik. Yaitu, ketika pemilu datang lagi, partai yang mendudukkan wakilnya yang tidak sensitif dengan penderitaan rakyat; tidak akan dipilih lagi.

Tentu, ini semua karena proses yang salah dalam penentuan wakil rakyat. Dan sangat mungkin hal ini disebabkan pula karena proses rekruitmen yang lebih sering ditentukan oleh faktor senioritas, kedekatan dengan pimpinan atau "lingkaran dalam" partai, dan bahkan nepotisme. Sehingga sering muncul anggapan keliru bahwa menjadi wakil rakyat tidak membutuhgkan kecakapan dan keilmuan yang tinggi, tetapi bagaimana mengakumulasi akses politik kepada sumber-sumber kekuasaan.

Kelemahan internal itulah yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas para wakil rakyat di pusat dan daerah ketika harus berkompetisi dengan eksekutif, yang bukan saja memiliki posisi politis yang lebih kuat, tetai juga mutu personel yang lebih tinggi. Maka bukanlah suatu kebetulan apabila dalam proses pembuatan Perda dan pembahasan finalisasi dalam bentuk Perda, dominasi eksekutif sangat kentara. Dan kelemahan dalam hal pendidikan tersebut kerapkali dikompensasi oleh anggota DPR/DPRD dengan asal berucap, dan dikompensasi oleh pihak eksekutif dengan pengucuran dana ke kantong-kantong anggota DPR/DPRD.

DPRD dan Politik Lokal

Untuk itulah, sudah merupakan tuntutan umum untuk kembali melakukan pembenahan kondisi politik lokal. Karena tidak bisa tidak, pemenuhan pengaturan yang tepat tentang politik lokal-lah yang akan menghantarkan konsep otonomi daerah dapat diterapkan secara stabil tanpa guncangan yang berarti. Karena jika tetap anggota DPRD berperilaku sesuka hati, bisa jadi setiap pembahasan hal yang terkait dengan kebijakan strategis, tarik menarik kepentingan dan intrik politik terus terjadi.

Politik lokal harus dikondisikan dalam aras yang mengarah pada keseimbangan peran antara legislatif dan eksekutif. Sentralisasi kekuasaan di pihak eksekutif harus dihilangkan, namun kebebasan tiada batas yang dimiliki oleh legislatif harus pula dibingkai secara konstitusional. Sehingga dengan demikian, tidak lagi ada tuntutan mundur yang ditujukan kepada Gubernur/Bupati/Walikota setiap Laporan Pertanggungjawabannya yang tidak sesuai dengan maksud dan harapan anggota DPRD. Harus ada upaya pengelolaan politik secara santun, ramah, dan beretika, jika anggota DPRD ingin mengawal otonomi daerah dan juga reformasi menuju bangunan yang dicita-citakan.

Sementara, sebagai parpol, Partai Persatuan Pembagunan (PPP) juga harus mulai membersihkan kader-kadernya di DPR/DPRD yang tak amanah dan melupakan tugas utamanya sebagai pengemban amanah rakyat. Kader-kaderr partai yang tak santun secara politik dan lebih mementingkan kelompok atau pribadinya harus rela untuk digantikan oleh kader lain yang berkualitas. Karena, sebagai kader PPP, pemenuhan azas kepatutan dalam berpolitik dan menjunjung tinggi citra dan jati diri partai sebagai partai Islam harus menjadi perilaku mutlak oleh setiap kader PPP di DPR/DPRD.

Dengan tuntutan itu, Sebagai Parpol berlandaskan Islam, PPP menekankan empat syarat utama kepada kader-kadernya di DPR/DPRD; pertama, dapat dipercaya (accountable). Syarat ini merupakan kondisi mutlak untuk dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang lahir dari DPR/DPRD benar-benar berpihak pada rakyat. Kedua, dapat diterima (acceptable). Sepopuler apapun calon yang diajukan oleh partai belum tentu mendapat legitimasi dari rakyat, jika rakyat tak mengenalnya. Artinya wakil rakyat harus dapat diterima oleh lapisan masyarakat yang diwakilinya. Ini merupakan kondisi mutlak. Karena, bagaimana mungkin anggota DPR/DPRD mengaku mewakili rakyat, jika rakyat sendiri di daerah pilihannya tidak mengenalnya. Ketiga, memiliki kemampuan yang memadai ( capable). Kondisi ini merupakan syarat utama yang dapat dijadikan pijakan bagi wakil rakyat untuk dapat beradu argumentasi dengan eksekutif serta melahirkan ide-ide cerdas dalam mengatasi permasalahan rakyat dan perencanaan pembangun di daerah. Keempat, memiliki integritas pribadi yang kokoh (integrity). Terpenuhinya syarat ini oleh wakil rakyat, akan melahirkan wakil rakyat yang tak silau akan kekuasaan maupun materi. Karena dengan integritas yang kokoh, wakil rakyat akan paham apa yang seharusnya diperjuangkan dan dalam batas mana ia harus berperan.

Anggota DPRD harus satu kata dan saling memahami bahwa potensi konflik dalam politik di tingkat lokal dapat mengganggu stabilitas pembangunan dan kepercayaan masyarakat pada lembaga legislatif. Untuk itu, harus ada kesadaran dari anggota DPRD untuk merubah perilaku politiknya menjadi lebih amanah, jujur dan bertanggung jawab. Tentu, ini semua berpulang pada anggota dewan yang terhormat !



1) Disampaikan dalam acara Silaturrahmi anggota DPR RI, DPRD I, DPRD II PPP Jawa Timur, di Hotel ASIDA BATU, 7 April 2002

2) Ketua DPW PPP JawaTimur

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda