Selasa, 07 Juli 2009

Mengangkat Martabat Guru TK dan SD

Mengangkat Martabat Guru TK dan SD Melalui UU Guru dan Dosen*

Oleh: A. Hafidz Ma’soem

(Anggota Komisi X DPR RI dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Roushon Fikr Jombang)

Lahirnya UU Guru dan Dosen pada 6 Desember 2005 dapat dikata merupakan momentum kebangkitan guru. Bagaimana tidak, undang-undang yang pembahasannya di DPR memakan waktu empat bulan itu memuat berbagai aturan yang sangat memuliakan guru. Pekerjaan sebagai guru yang selama ini dianggap sebagai “pekerjaan pinggiran” yang sangat tidak menarik karena penghasilannya kecil, kini berbalik menjadi pekerjaan menarik yang menjanjikan gaji dua kali lipat pegawai negeri biasa. Martabat guru yang semula direndahkan sekarang menjadi terangkat oleh kehadiran undang-undang itu.

Seperti halnya dokter, akuntan, dan apoteker, guru kini dipandang sebagai sebuah profesi. Konsekuensinya, guru dituntut menjadi pekerja profesional yang selalu mencurahkan segenap perhatiannya pada perkembangan anak didik demi peningkatan kualitas pendidikan. Sebagai sosok profesional, nantinya guru memiliki hak untuk mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum (pasal 14 ayat 1). Itu berarti, penghasilan guru bakal lebih meningkat dibandingkan sebelum UU Guru dan Dosen diberlakukan. Artinya pula, permasalahan rendahnya kesejahteraan hidup yang selama ini menjadi beban pikiran guru sedikit demi sedikit dapat terselesaikan.

Persoalannya, untuk menjadi sosok profesional seperti yang disyaratkan UU Guru dan Dosen bukanlah pekerjaan mudah. Dalam undang-undang disebutkan, guru yang profesional diwajibkan memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, Sertifikat Pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional (pasal 8). Menyimak persyaratan itu, nampaknya jalan panjang untuk meningkatkan profesionalitas guru masih harus ditempuh. Sebab, realitas di lapangan menunjukkan keadaan sebaliknya. Buktinya, masih sangat banyak guru yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi seperti yang diharapkan UU Guru dan Dosen.

Situasi paling parah menimpa guru TK dan SD. Setahun sebelum UU Guru dan Dosen disahkan, Balitbang Depdiknas merilis data yang memperlihatkan bahwa pada tahun 2002-2003, guru TK dan SD menempati posisi tertinggi sebagai guru di suatu jenjang pendidikan yang kualifikasi akademiknya tidak memadai. Data itu menunjukkan dari 137.069 guru TK di Indonesia, tercatat hanya 3,88% yang memenuhi kualifikasi akademik sarjana. Sedangkan, di antara 1.234.927 guru SD, hanya 8,30% yang layak mengajar. Ini berarti, jenjang pendidikan paling dasar di Indonesia mengalami penyakit paling kronis. Kehadiran UU Guru dan Dosen diharapkan dapat menyembuhkan penyakit kronis tersebut.

GURU MENURUT IJAZAH TERTINGGI TAHUN 2002/2003

No

Pendidikan

Jumlah

Guru

Ijazah Tertinggi (dalam %)

D2

D3

S1

S2/S3

1

TK

137.069

90.57

5.55

-

3.88

-

2

SLB

8.304

47.58

-

5.62

46.35

0.45

3

SD

1.234.927

49.33

40.14

2.17

8.30

0.05

4

SMP

466.748

11.23

21.33

25.10

42.03

0.31

5

SMA

230.114

1.10

1.89

23.92

72.75

0.33

6

SMK

147.559

3.54

1.79

30.18

64.16

0.33

7

PT

236.286

-

-

-

56.54

43.46

Sumber : Balitbang 2004

Sebagai sebuah produk legal formal, UU Guru dan Dosen memang menempatkan semua guru pada kedudukan yang sama. Tidak ada perbedaan hak dan kewajiban antara guru pada jenjang TK, SD, SMP, maupun SMA. Namun, karena TK dan SD merupakan jenjang pendidikan paling dini bagi anak didik, maka keduanya memiliki peran besar dalam pembentukan karakter dasar generasi bangsa. Karenanya, TK dan SD bisa dikatakan sebagai jenjang pendidikan yang sangat penting. Modal dasar seorang anak didik sebagai penggali ilmu pengetahuan berawal dari TK dan SD. Ilmu pengetahuan yang didapatkan di TK dan SD akan terinternalisasi secara mendalam dalam diri anak didik sehingga menjadi modal berharga dalam menapaki jenjang pendidikan selanjutnya. Oleh karena itu, peningkatan profesionalitas guru TK dan SD merupakan upaya sangat urgen dalam pembenahan pendidikan Indonesia.

Kualifikasi Akademik

Pasal 8 UU Guru dan Dosen menyebutkan bahwa untuk mencapai kualifikasi akademik seperti yang disyaratkan undang-undang, guru minimal telah menempuh pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat. Persyaratan ini memang sudah cukup sesuai. Untuk mendidik siswa-siswi pra pendidikan tinggi (TK hingga SMA) jelas dibutuhkan orang yang memiliki kualifikasi akademik pendidikan tinggi. Jika ini yang terjadi, proses transfer keilmuan dari guru ke siswa akan berjalan secara berkualitas. Menjadi sebuah “kecelakaan pendidikan” jika yang terjadi malah lulusan SMP atau SMA mengajar siswa SD.

Repotnya, mengacu pada data di atas, kondisi seperti itulah yang justru terjadi dalam proses pendidikan di Indonesia. Data terbaru yang dilaporkan Depdiknas pada tahun 2005 ternyata juga belum memaparkan kabar gembira. Hingga tahun 2005, jenjang SD masih memiliki 417.374 (15,2%) guru berijazah SMP dan SMA. Selebihnya, sebanyak 53,5% berijazah D1/D2/D3 dan 31,3 % berijazah sarjana ke atas. Artinya, dari 2.745.882 guru SD di Indonesia, 68,3% di antaranya tidak layak mengajar. Di jenjang SMP, guru berpendidikan sarjana tercatat 60,6%. Sedangkan, di SMA atau sederajat, kualifikasi akademik guru sudah cukup lumayan karena guru yang berijazah di bawah D4 tinggal 10 persen (Kompas, 2 Maret 2006).

Sekali lagi, data itu kembali mengabarkan bahwa jika dibandingkan dengan semua jenjang pendidikan, kondisi guru di tingkat SD tergolong paling parah. Jumlah 68,3% guru SD tidak memenuhi standar profesionalitas jelas jumlah yang sangat besar. Bagi dunia pendidikan, adalah suatu “bencana nasional” apabila sebagian besar guru pendidikan dasar tidak memiliki kualifikasi memadai untuk mentransformasikan ilmu kepada anak didik. Sebab, hal itu akan berdampak pada kualitas keilmuan yang dimiliki anak didik pada tingkat pemahaman yang paling mendasar. Karena anak didik adalah subyek utama pendidikan, maka kualitas keilmuan minim yang dimilikinya mengakibatkan pendidikan Indonesia tidak berkualitas.

Oleh sebab itu, kualifikasi akademik menjadi persoalan mendasar pertama yang harus secepatnya dibenahi. Terhadap hal ini, UU Guru dan Dosen mewajibkan pemerintah menyediakan anggaran untuk peningkatan kualifikasi akademik guru (pasal 13). Dengan anggaran yang disediakan pemerintah, guru yang tidak layak mengajar dapat meningkatkan kualifikasi akademiknya hingga memenuhi syarat.

Peraturan Pemerintah (PP) menjadi payung hukum operasionalisasi aturan tersebut. Karenanya, agar pasal 13 terpenuhi, proses penyusunan PP harus dipantau secara cermat. Sebab, tidak tertutup kemungkinan pemerintah ingkar janji dengan mengutak-atik pasal-pasal dalam PP sesuai dengan kepentingannya. Ingat, pemerintah telah berulang kali ingkar atas janjinya meningkatkan kualitas pendidikan bangsa ini! Kasus paling akhir adalah pemenuhan anggaran pendidikan dalam APBN 2006. Sesuai kesepakatan pemerintah dengan DPR, semestinya anggaran pendidikan tahun 2006 adalah sebesar 12%, tetapi ternyata pemerintah cuma menganggarkan 9% dari total APBN. Kasus semacam ini tidak boleh terulang lagi!

Kompetensi

Selain kualifikasi akademik, kompetensi juga menjadi kebutuhan mutlak seorang guru profesional. Persyaratan kompetensi diatur dalam pasal 10 UU Guru dan Dosen. Di situ disebutkan bahwa kompetensi yang harus dipenuhi guru adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Kompetensi berarti guru harus memiliki kemampuan mengajarkan materi sesuai dengan keahliannya. Guru berpendidikan Agama harus mengajarkan Agama. Guru berpendidikan Bahasa Inggris juga harus mengajarkan Bahasa Inggris. Namun, yang terjadi di berbagai pelosok negeri ini, guru berpendidikan Agama tidak hanya mengajar Agama, tetapi merangkap Bahasa Inggris dan pelajaran lainnya. Tentu saja, ketidaksesuaian itu menyebabkan kualitas pengajaran menjadi menurun drastis karena anak didik mendapatkan materi bukan dari ahlinya.

Besar kemungkinan, ketidaksesuaian itu terjadi karena alokasi persebaran guru di berbagai daerah yang tidak merata sehingga ada daerah yang kelebihan tenaga pengajar dan sebaliknya ada daerah yang kekurangan tenaga pengajar. Data Depdiknas tahun 2005 menyebutkan bahwa secara nasional rasio guru-siswa di jenjang SD adalah 1:19 (satu guru mengajar 19 murid). Namun, rasio itu tidak merata tersebar ke seluruh daerah. Ada daerah yang rasionya kecil dan ada pula yang rasionya besar. Sulawesi Utara tercatat sebagai daerah yang paling kelebihan gurudengan rasio 1:12; terendah di seluruh Indonesia. Sedangkan, daerah yang paling kekurangan guru adalah Banten dan Sulawesi Barat dengan rasio 1:26 atau tertinggi di Indonesia. Daerah yang kekurangan tenaga pengajar inilah yang kemudian melakukan “eksperimen” perangkapan pekerjaan dalam pemberian materi pelajaran.

Pemerintah tidak boleh tinggal diam menyikapi permasalahan tersebut. Alokasi persebaran guru tiap daerah harus diratakan hingga tidak ada lagi daerah yang kekurangan pengajar. Apalagi, bila mengingat data Depdiknas tentang kekurangan guru tahun 2004-2005 bahwa secara nasional negeri ini kekurangan 218.838 guru, dengan rincian kekurangan terbesar pada jenjang SD, yakni sebesar 107.461 (hampir 50% dari total kekurangan guru!).

KEKURANGAN GURU TAHUN 2004-2005

TINGKAT

2004

2005

KEBUTUHAN

KEBUTUHAN

PENSIUN

KEBUTUHAN

PENSIUN

TK

893

187

1,080

260

1,340

SD

63,144

20,399

83,543

23,918

107,461

SMP

57,537

4,707

62,244

6,270

68,514

SMU

26,120

1,498

27,618

1,685

29,303

SMK

9,972

1,073

11,045

1,175

12,220

TOTAL

157,666

27,864

185,530

33,308

218,838

Sumber : Data Direktorat Tenaga Kependidikan, 2004

Kompetensi juga berkaitan dengan kemampuan guru sebagai seorang pendidik. Kemampuan seperti ini jarang dimiliki oleh kebanyakan guru di Indonesia. Mayoritas guru masih berperan sebatas sebagai sosok pengajar yang memposisikan siswa sebagai obyek. Seringkali kita melihat di ruang-ruang kelas sekolah kita, guru hanya mengajarkan materi sekenanya dengan menceramahi siswa tanpa memberikan pemahaman menyeluruh kepada siswa. Akibatnya, materi yang diberikan hanya mampir sebentar di otak dan kemudian lenyap. Tidak ada proses penyerapan atau internalisasi yang membuat materi itu tertancap tajam dalam pikiran.

Sebagai seorang pendidik, guru harus menempatkan siswa sebagai subyek paling penting dalam proses pendidikan. Ia harus memantau perkembangan siswa secara cermat sejak awal sampai akhir. Dengan begitu, guru tahu betul potensi dan kemampuan yang dimiliki siswa. Mengajar tidak selalu dengan ceramah, tapi juga lewat diskusi. Dari sini kemudian guru dapat menampilkan sajian pembelajaran yang menarik, memotivasi, menggairahkan, dan mencerahkan. Dengan sendirinya, guru sekaligus berperan sebagai agen pencerahan

Sertifikasi Pendidik

Untuk menjadi guru profesional, dibutuhkan Sertifikat Pendidik yang menurut pasal 11 didapatkan dari program sertifikasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh pemerintah. Sertifikat ini merupakan bukti tertulis bahwa seseorang telah layak menjadi guru. Tanpa sertifikat, seseorang tidak akan bisa menjalani profesi sebagai guru.

Lantas, bagaimana dengan seseorang yang telah menjadi guru tetapi belum memiliki sertifikat? Pemerintah memberi kesempatan untuk memiliki sertifikat itu dalam jangka waktu 10 tahun (pasal 82 ayat 2). Karenanya, dalam waktu 12 bulan sejak UU Guru dan Dosen diberlakukan, pemerintah harus menyelenggarakan program sertifikasi guru (pasal 83 ayat 1). Pemerintah juga berkewajiban menyediakan anggaran bagi guru yang menjalani program sertifikasi (pasal 13).

Dalam hal sertifikasi, mungkin akan muncul persoalan dengan Akta IV yang sebenarnya sudah merupakan sertifikat guru. Pertanyaannya, apakah Akta IV sama dengan Sertifikat Pendidik atau tidak? Jika sama, guru yang telah memiliki Akta IV tidak perlu lagi menjalani program sertifikasi. Begitu pula sebaliknya. Lebih jelas tentang hal ini akan diatur lebih lanjut dalam PP. Karenanya, sebelum PP tentang sertifikasi pendidik diterbitan, para guru perlu memperjuangkan agar Akta IV sudah sama dengan Sertifikat Pendidik.

Dengan disamakannya Akta IV dengan Sertifikat Pendidik, maka beban guru pemegang Akta IV lebih ringan karena tidak harus mencari Sertifikat Pendidik. Sebab, walaupun ada klausul bahwa pemerintah wajib membantu para guru mendapatkan Sertifikat Pendidik, bantuan itu tidak akan keluar 100 persen. Para guru masih harus mengeluarkan biaya tambahan, minimal biaya transportasi, foto copy, pembelian bahan kuliah, dan lain sebagainya. Selain itu, dengan disamakannya Akta IV dengan Sertifikat Pendidik, beban pemerintah juga kian berkurang karena guru yang dibantu hanya guru yang belum memiliki Akta IV. Yang tidak boleh dilupakan, sekali lagi, PP harus diawasi secara cermat agar berpihak pada kepentingan guru!

Guru, Ujung Tombak Pendidikan

Guru adalah ujung tombak dunia pendidikan. Maju tidaknya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas pendidikannya, dan kualitas pendidikan suatu bangsa sangat ditentukan oleh profesionalitas guru. Karenanya, selama guru belum menjadi sosok profesional, harapan anak bangsa untuk merasakan pendidikan berkualitas seolah menjadi harapan kosong. Bahkan, bagi mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan, guru yang berkualitas jauh lebih penting daripada kurikulum. Ia berpendapat, “Sebaik apapun kurikulum jika tidak dibarengi guru yang berkualitas, maka semuanya sia-sia. Sebaliknya, kurikulum yang kurang baik akan dapat ditopang oleh guru yang berkualitas. Oleh sebab itu, peningkatan mutu guru sepatutnya menjadi perhatian utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan.”

Fuad benar. Peran guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan memang sangat besar. Maka, ketika realitas menampakkan betapa banyaknya guru yang tidak berkualitas, yang harus kita lakukan kemudian adalah melaksanakan jihad pendidikan. Pendidikan harus dijadikan sektor paling utama dalam pembangunan bangsa ini. Semua elemen bangsa di setiap penjuru negeri ini harus bersatu padu melakukan “kerja akbar” untuk membenahi pendidikan Indonesia. Langkah awalnya yaitu dengan membenahi kualitas guru, terutama guru TK dan SD sebagai pintu masuk anak didik dalam mengenyam pendidikan.

Berlakunya UU Guru dan Dosen harus kita jadikan momentum peningkatan kualitas guru. Peningkatan itu terfokus pada peningkatan martabat guru. Jujur, harus diakui, hingga kini guru masih menjadi profesi yang kurang menyenangkan dalam kehidupan masyarakat. Statusnya sebagai ”Oemar Bakri” menjadikan guru ditempatkan pada posisi marginal. Guru tak bisa lagi dihibur dengan gelar ”pahlawan tanpa tanda jasa” yang sangat identik dengan keprihatinan. Yang dibutuhkan saat ini adalah tindakan nyata dari pemerintah untuk secepatnya melaksanakan amanat yang terkandung dalam UU Guru dan Dosen!

Janganlah guru kembali dibius dengan janji-janji manis yang tak jelas kapan implementasinya. Janganlah pula guru dipaksa menunggu terlalu lama implementasi undang-undang itu hingga membuat mereka kecewa dan tidak percaya lagi pada pemerintah. Cukup sudah guru dijadikan obyek kebijakan. Sekarang, waktunya guru menjadi subyek bermartabat yang bergelimang tanda jasa dan bintang penghargaan atas dedikasinya mencerdaskan kehidupan bangsa ini! Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Jakarta, 1 Maret 2006

A. Hafidz Ma’soem



* Disampaikan pada Rapat Koordinasi dan Konsultasi Direktorat Pembinaan TK dan SD di Manado Sulawesi Utara pada 7 – 10 Maret 2006

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda