Selasa, 07 Juli 2009

Pilkada dan Resistensi Politik Uang

Sulit dibantah jika konsentrasi politik anggota legislatif di beberapa kota Jawa Timur saat ini lebih terfokus pada suksesi kepemimpinan. Bagaimana tidak, hampir secara bersamaan di sepanjang tahun 2003 perhelatan akbar politik daerah, yakni pemilihan kepala daerah (Pilkada) digelar. Setelah Batu, Bojonegoro, Probolinggo, Bangkalan, Nganjuk, yang telah rampung pada awal Maret ini; berikutnya segera menyusul Pamekasan, Tulungagung, Bondowoso, Magetan, Madiun, Lumajang, Jombang, Malang dan puncaknya Pilgub Jawa Timur.

Bagi DPRD di daerah, jelas ini adalah PR besar bagi proses penyelenggaraan pemerintahan, dan tentu agenda lima tahunan yang selalu dinanti. Karena patut dicermati, di perhelatan politik itulah pertarungan antar parpol di parlemen daerah yang sesungguhnya bakal terjadi. Pertarungan yang mempertaruhkan citra, martabat, kebesaran, maupun eksistensi parpol di mata masyarakat. Kerapkali pula, bulan-bulan mendekati suksesi, suhu politik sontak menaik, opini saling menjatuhkan antar calon bermunculan; beragam seminar, talk show maupun debat antar calon marak digelar oleh sejumlah LSM; pengerahan massa dan upaya dukung-mendukung yang diperlihatkan oleh para tokoh panutan-pun secara vulgar terpotret, sementara politik uang seakan menjadi bumbu yang tak mungkin tertinggal.

Wajar jika kemudian muncul pandangan bahwa DPRD memegang peran sentral yang tak mungkin diabaikan. Dalam konteks ini pula DPRD menjelma menjadi penguasa tertinggi di daerah. Kekuasaan DPRD-pun menjadi sangat tak terbatas, apalagi langgam otonomi menjadi bingkai hukum yang dapat menjustifikasi semua keputusan yang dihasilkan DPRD. Ironisnya, seringkali kekuasaan yang luar biasa tersebut digunakan secara salah kaprah dan dipraktekkan tanpa terlebih dahulu mempersiapkan infrastruktur sebagai pengeremnya. Karenanya, jika kemudian muncul dugaan di masyarakat bahwa arena suksesi kepemimpinan di daerah merupakan ladang bagi anggota DPRD untuk memperkaya diri, tentu tak bisa disalahkan ! Karena, potret vulgar praktek-praktek tidak sehat yang dipertontontan oleh sebagian anggota DPRD dalam memperkaya diri sudah menjadi berita lazim yang sudah tak lagi membuat kaget masyarakat.

Coba simak rubrik Pro-Otonomi Jawa Pos, Kamis 13 Maret 2003. Berbagai bentuk kasus korupsi anggota DPRD tahun 2002-2003 tercover disitu. Dari mulai tuduhan korupsi 2,7 Milliar yang ditimpakan kepada Ketua DPRD dan Wakil Ketua DPRD Surabaya, Basuki dan Ali Burhan, yang diindikasikan juga melibatkan seluruh anggota DPRD Surabaya; pembagian dana 50 Juta/orang untuk meloloskan APBD 2003 di DPRD Jawa Tengah, pembagian dana 250 juta/orang untuk anggota DPRD Jabar untuk pembelian tanah, dugaan korupsi DPRD Sumbar senilai 8,1 milliar, dll. Belum lagi, bentuk-bentuk politik uang yang selalu marak terjadi di setiap suksesi Pilkada, meski tak pernah terekspose di media massa.

Jika dicermati, maraknya aroma politik uang yang terjadi dalam setiap suksesi Pilkada kerapkali diiringi dengan masuknya beberapa calon bermodal besar, dan diindikasikan telah melakukan gerilya politik ke sejumlah tokoh masyarakat maupun pimpinan partai politik besar. Dengan guyuran dana ratusan juta hingga milliaran rupiah yang ditransfer ke “rekening” sejumlah tokoh masyarakat dan decision maker (pengambil keputusan) politik di sebuah parpol, merupakan jaminan bagi sang calon untuk melenggang, minimal dalam proses pencalonan atau garansi untuk mendapatkan rekomendasi.

Banyak cerita beredar di sejumlah politisi Jawa Timur, bahwa lolosnya salah satu calon kepala daerah yang kemudian berhasil memimpin di salah satu kotamadya di Jawa Timur misalnya, tidak lepas dari transfer milliaran rupiah ke Sekjend parpol besar untuk sekedar mendapatkan rekomendasi DPP Parpol tersebut, padahal sudah menjadi rahasia umum sang Walikota bukanlah kader militan parpol tersebut. Sejumlah anggota DPRD kota tersebut-pun tak sanggup pula menolak kucuran dana puluhan juta ke rekening mereka. Di sebuah daerah Mataraman lain lagi ceitanya. Seorang Bupati terpilih yang berpangkat Kolonel (Purn) harus rela mentransfer sejumlah dana yang tak bisa dibilang kecil ke rekening seorang Ketua Wilayah Parpol pendukung sang Bupati, padahal ia bukan kader parpol bersangkutan. Kasus hengkangnya Cholili Mugi dari Golkar ke PKB merupakan contoh kasat mata yang sungguh sulit dipungkiri. Untuk maju jadi calon Bupati Probolinggo, Cholili rela meninggalkan jabatannya sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar DPRD Jawa Timur. Ironisnya hanya untuk maju dalam taraf pencalonan saja Cholili sudah gagal, padahal rekomendasi sudah ada ditangan. Lantas, jika sekarang beredar kabar bahwa Cholili menagih janji, dapat ditebak ada apa dibalik itu ?

Persoalannya, gejala apa ini, sehingga berita-berita seputar DPRD yang dimuat di media massa, selalu saja tak lepas dari persoalan politik uang, mental korup dan suap. Pantas diingat, bahwa jabatan DPRD berakhir pada sekitar akhir April 2004, dan jika rujukan Pilkada mengacu di beberapa daerah di Jawa Timur, itu terjadi beberapa bulan setelah suksesi digelar. Jika demikian, bukankah satu kursi anggota DPRD jika dikompensasi dengan uang ratusan juta untuk jabatan Bupati, Walikota, atau Gubernur lebih menguntungkan secara finansial, ketimbang jabatan DPRD yang belum pasti dapat diraih kembali di Pemilu 2004 ?

Sinyalemen dugaan politik uang ini tentu tak bisa diabaikan. Apalagi, DPRD saat ini adalah pihak yang paling menentukan atas jadi tidaknya seorang calon. Sehingga, bukan tidak mungkin jual beli suara menjadi kelaziman dalam proses Pilkada nantinya. Jika ini terjadi, sungguh akan menodai citra lembaga legislatif. Dan, mereka yang mengabaikan rambu-rambu moral tersebut, sebenarnya adalah pihak yang secara langsung telah membusukkan lembaga legislatif dan mengakibatkan nasib lembaga legislatif semakin degradatif pada masa mendatang. Lantas, jika muncul banyak pandangan yang menilai bahwa anggota DPRD saat ini lebih mementingkan pribadinya masing-masing ketimbang kepentingan daerah atau masyarakat selaku konstituennya, itu adalah fakta yang sulit terbantah.

Sebenarnya, iindikasi akan munculnya politik uang dapat dipahami, jika kita secara jernih mencermati kualitas anggota DPRD. Lihat saja, banyak anggota DPRD mengalami kesulitan dalam melakukan fungsi dan tugas-tugas anggota DPRD. Sebut saja misalnya, dalam fungsi legislasi maupun pengawasan. DPRD tampaknya baru menjalankannya pada aras pragmatis, dan jauh dari aras esensisal. Nampak sekali, jika fungsi pengawasan telah beralih fungsi menjadi sikap arogansi kekuasaan.

Bukan rahasia jika banyak anggota DPRD memiliki tingkat pendidikan yang kurang sepadan dengan persoalan yang semakin hari semakin meningkat kadar problematikanya. Namun ironisnya, kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai akibat dari terbukanya kran otonomi seringkali digunakan untuk bersuara vokal tanpa tahu duduk permasalahannya. Dan untuk meredamnya, politik uang-pun bisa bermain ! Sehingga, tidak hanya saat Pilkada, di setiap penetapan RAPBD, Raperda, ataupun PAK-pun selalu saja harus disediakan sejumlah uang ratusan juta rupiah untuk meloloskannya.

Memang banyak ragam untuk melakukan praktek politik uang di arena Pilkada. Bisa dengan pembagian uang oleh sang calon kepada para anggota DPRD, atau dengan melakukan penggelembungan (mark up) biaya penyelenggaraan Pilkada. Dalam kasus yang kedua juga sudah banyak terjadi. Kasus Pilihan Gubernur Jawa Timur menjadi contoh terkini. Bagaimana mungkin, hanya untuk membahas Tatib saja harus menelan biaya ratusan juta rupiah. Atau, kasus Pilkada di salah satu kabupaten di Jawa Timur yang terjadi pada periode Maret 2003. Dengan me-mark up dana penyelenggaraan Pilkada, kabarnya setiap anggota DPRD menerima “dana lelah” sejumlah 10 juta. Hitung saja jika dikalikan 45 anggota DPRD, 450 Juta ! Uang rakyat yang dibuang sia-sia hanya untuk mengongkosi anggota DPRD yang tiap bulannya sudah bergaji diatas 5 juta ditambah berbagai fasilitas yang jauh dari kata sederhana.

Namun, tentunya kita tak menggeneralisir semua anggota DPRD memiliki tabiat politik yang rakus. Karena, sudah pasti masih banyak anggota DPRD yang memiliki sense of crisis dan daya nalar yang tajam dalam melihat realitas hidup rakyat. Dan tentu pula tabiat politik yang rakus dan arogansi kekuasaan yang diperankan takkan pernah berhenti jika pihak eksekutif-pun berperilaku sama. Karena, jika sudah demikian, rakyat kembali yang dirugikan.

Lihat saja, berapa ratus juta dana proyek Pemda di beberapa daerah di Jawa Timur yang di mark up dalam APBD 2003. Beberapa pos bahkan menunjukkan angka yang tak masuk akal, disamping sejumlah proyek awu-awu yang telah disetujui DPRD. Anggaran untuk DPRD-pun tak jauh beda. Peningkatan anggaran DPRD dengan skala yang berlipat ganda sering menjadi bargaining DPRD untuk menyetujuai RAPBD yang diusulkan eksekutif. Nampak, jika proses rampokisasi uang rakyat menjadi gejala tak sehat di tengah gencarnya upaya desentralisasi pembangunan melalui otonomi daerah.

Jika sudah demikian, lantas, bagaimana sikap rakyat ? Tak ada pilihan selain pembalasan politik. Yaitu, ketika pemilu datang, jangan lagi pilih parpol yang mendudukkan wakilnya yang tidak jujur dan amanah !

Sementara itu, bagaimana sikap seharusnya yang diambil oleh Ormas, LSM, Perguruan Tinggi, maupun Pesantren ? Sudah seharusnya sejak dini di beberapa daerah mulai dibentuk konsorsium pengawas penyelenggaraan Pilkada. Elemen-elemen kritis di masyarakat harus disatukan dalam satu wadah yang netral dan fair tanpa ada intervensi kekuatan politik manapun. Konsorsium inilah yang nantinya bertugas memantau penyelenggaraan suksesi. Pantauan tentu tidak sebatas pada politik uang yang dipraktekkan sejumlah calon, tetapi juga tata tertib Pilkada, proses pencalonan hingga hari H penyelenggaraan, maupun anggaran yang dialokasikan. Pengawasan secara ketat yang dilakukan oleh lembaga independen, nampaknya akan lebih fair dan lebih dapat dipertanggungjawabkan, dibanding dilakukan DPRD sendiri.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda