Selasa, 07 Juli 2009

Reformulasi Desain Masa Depan PPP


Setelah Amandemen UUD 1945, dengan segala macam implikasinya, seperti pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan kepala daerah secara langsung, seluruh partai politik di Indonesia dituntut untuk menyusun ulang desain masa depannya, tak terkecuali bagi PPP yang dalam 2 kali pemilihan umum pasca reformasi (Pemilu 1999 dan Pemilu 2004) berada dalam posisi 3 besar, walaupun selisih dengan urutan kedua dan pertama cukup jomplang.
Munculnya angan-angan untuk mereformulasi desain masa depan PPP yang berisi tentang ide, gagasan, dan pandangan PPP secara menyeluruh tentang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dirasakan sangat mendesak karena situasi dan kondisi politik mutakhir sudah mengalami perubahan yang sangat cepat. Jika PPP terlambat melakukan perubahan, maka partai ini bisa ketinggalan kereta.

Polarisasi Umat Islam
Ketiadaan desain masa depan PPP yang responsif terhadap kondisi sosial politik masyarakat, serta strategi pemenangan Pemilu yang proaktif terhadap fluktuasi politik adalah benih ketidakpercayaan konstituen yang bisa jadi akan menjatuhkan suara PPP. Banyak contoh bisa disebut, bagaimana PPP pada Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 sulit bersaing menghadapi parpol baru yang cenderung bersikap terbuka dan modern. Saat itu PPP berada di ujung jalan bercabang. Ujung kanan dihuni parpol "beridentitas agama" (bukan berideologi agama) yang memiliki kedekatan kultural dengan Ormas Islam (PKB dengan NU, PAN dengan Muhammadiyah, dan PBB dengan eks Masyumi) -- meski ada pendapat lain dalam kategori ideologis yang menempatkan PAN dan PKB sebagai parpol tengah -- sementara PPP hanya dapat mengklaim dekat secara historis dengan ketiga Ormas Islam tersebut. Dikaitkan dengan Nu dan Muhammadiyah, PPP dapat dikatakan berada diujung luar.
Di ujung kiri, dihuni parpol beraliran majemuk dan nasionalis yang direpresentasikan merupakan wakil masyarakat umum, priyayi, dan abangan. Dikaitkan dengan kelompok di atas, PPP juga berada diujung ularnya, bahkan dapat dikatakan berada di luar garis kelompok tadi.
Dengan gambaran di atas, posisi PPP berada dalam posisi yang sangat rentan, karena bisa ditinggalkan oleh masyarakat yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah secara bersama-sama. Lantas jika kemudian tak ada strategi pembeda antara PPP dengan Parpol Islam lain yang notabene memiliki basis Ormas yang tegas, tentu sangat naif jika kita menginginkan kemenangan Pemilu. Apalagi citra politik Islam yang melekat pada PPP tidak lantas membuat umat Islam tertarik dengan PPP. Karena -- sejarah telah mencatat -- pandangan bahwa parpol Islam merupakan satu-satunya wadah aspirasi politik umat Islam jelas tidak mempunyai landasan kuat. Bahkan, meskipun beberapa bagian umat Islam berafiliasi dalam parpol Islam, namun menggeneralisasikan umat Islam berada dalam irama politik yang sama adalah pandangan yang kurang mendapat pijakan historis yang kokoh.
Polarisasi perilaku politik umat Islam, yang ditunjukkan dengan banyaknya berdiri Parpol berlabel Islam serta kekisruhan kampanye pemilu yang kerapkali melibatkan dua kubu umat Islam yang berbeda aspirasi politik, merupakan cermin betapa umat Islam tidak berada dalam keragaman visi. Belum lagi, yang harus dipahami bahwa nyata-nyata jika parpol "non Islam"-pun juga turut memperjuangkan politik umat Islam.

Desain Masa Depan
Sudah menjadi kenyataan bahwa secara historis PPP didirikan sebagai fusi politik dari eks- Partai-partai Islam; NU, MI, SI, dan Perti. Namun sulit dibantah bahwa tidak seluruh warga NU, MI, SI, dan Perti tetap konsisten berada dalam PPP. Banyak warga NU yang eksodus ke PKB, beberapa di PKU, PNU, Golkar, bahkan PDI-P. Begitupun yang terjadi dengan MI, banyak warganya yang beralih membela PAN, dan tak sedikit yang ke PBB dan Golkar.
Sebaliknya pula merupakan kenyataan bahwa pasca tumbangnya Orde Baru, lahir generasi baru yang simpati dan mempunyai kepedulian pada PPP. Mereka datang tidak membawa bendera Ormas atau label Islam untuk sampai simpati pada PPP. Kelompok inilah yang kini banyak berperan dan memberi kontribusi positif dalam perjuangan PPP. Mereka adalah para akademisi dan intelektual kampus, birokrat dan mantan pejabat eksekutif, mantan (purn) TNI, , pengusaha dan wiraswastawan, serta golongan muda terdidik.
Potensinya yang besar dan wawasan maupun kesadaran politiknya yang luas harus memberi kesadaran baru bagi fungsionaris PPP bahwa elemen ini patut dipertimbangkan dalam penentuan kebijakan strategis Partai. Pikiran-pikiran mereka juga sangat aspiratif terhadap keinginan rakyat, demikian pula perpaduan rasa keagamaan dan kebangsaannya yang juga cukup mumpuni. Kesadaran atas kenyataan inilah yang perlu ditanamkan pada diri setiap tokoh sentral PPP, bila mereka hendak memperbaiki dan membangun citra partai. Para tokoh partai, harus berani melahirkan suatu konsep baru yang sehat dan segar, yang sanggup menampung potensi yang secara real ada dan hidup ditengah komunitas real PPP. Perpaduan antara potensi eks unsur dan potensi non unsur inilah yang harus menjadi bangunan dari desain PPP masa depan. Dan penumbuhan rasa kesadaran inilah yang perlu menjadi awal pekerjaan yang harus dilakukan oleh seluruh keluarga besar PPP.
Desain PPP masa depan juga harus merekonstruksi pemosisian politik PPP dalam konteks politik Islam. Dalam artian pemosisian PPP yang selalu bersikap keras dan tegas dalam memperjuangkan formalisme Islam (seperti pelaksanaan Piagam Jakarta) harus dikaji ulang. Ini dilakukan bukan karena strategi perjuangan tersebut salah, tetapi lebih pada kondisi riil masyarakat yang belum bisa diajak menuju pada posisi seperti idealitas PPP. Harap ingat, meski mayoritas masyarakat Indonesia muslim, tidak lantas menjadikan negara mendudukkan Islam dalam posisi yang seharusnya, yakni menjadi bingkai dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan masyarakat muslimpun kerapkali tak rela untuk menerapkan nilai-nilai formal Islam dalam derap hidupnya. Untuk itulah, sudah saatnya kini, PPP mulai berfikir untuk mampu memadukan strategi politik yang bercorak struktural formalistic dan kontekstual substantif. Karena, ditengah kondisi masyarakat beragama yang pluralistik, sehingga tak mungkin bagi PPP untuk berada dalam posisi struktural formalistic saja. Ini semua dilakukan bukan berarti idealitas Islam ditinggalkan dari ruh perjuangan PPP, karena pada saatnya nanti ketika masyarakat mampu membaca keinginan PPP, idealitas itu akan hadir dengan sendirinya.

Empat Pijakan
Untuk itulah, perlu kiranya fungsionaris PPP melakukan langkah-langkah strategis demi tercapainya desain masa depan PPP, yang antara lain, pertama, menjembatani hubungan antara PPP dengan konstituen. Ini dilakukan dengan alasan pendekatan politik ekonomi yang biasa mendasarkan pada pertanyaan ''siapa mendapat apa dan mengapa''. Ini mengisyarakan bahwa konstruksi hubungan antara partai dan konstituen dalam demokrasi haruslah bersifat kalkulatif dan transaksional.
Kedua, merekonstruksi dan mempertegas Platform Partai. Disini platform yang dibangun harus dengan landasan sikap akhlaq al-karimah dan amar ma'ruf nahi munkar. Aksentuasi platform dibingkai oleh falsafah nilai-nilai luhur Islam. Karena, disinilah, awal citra partai dibangun, dari perpaduan kondisi politik riil dan dasar falsafah dengan upaya pemenuhan hak manusiawi rakyat. Hak manusiawi rakyat disini menyangkut; apakah PPP dapat memberikan solusi terbaik bagi penyelesaian persoalan kesejahteraan ekonomi, keadilan politik, penuntasan kasus hukum dan HAM, pemberantasan KKN, penciptaan rasa aman, penjaminan atas keberlangsungan pendidikan dan peningkatan SDM; serta persoalan prinsipil menyangkut masalah publik dan layanan kemasyarakatan.
Ketiga, kaderisasi partai secara berkesinambungan. Ini dilakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi persaingan partai dalam hal kualitas SDM. Dengan SDM yang berkualitas, seorang politikus/kader PPP akan mampu berkomunikasi secara verbal dan argumentatif dalam menyikapi agenda masalah bangsa. Rakyat-pun dibiasakan melihat partai bukan karena kharisma seseorang, tetapi kecerdasan ide dan gagasannya. Karena demokrasi sesungguhnya bukan janji kampanye pemilu tetapi "perang intelektual" melalui kecerdasan dalam mencetuskan ide, dan mengimplementasikannya melalui langkah politik secara konsekuen. Disinilah, pada akhirnya massa/konstituen PPP tidak saja terdidik secara politik tetapi juga mampu menjadi kader PPP bagi kepentingan kepemimpinan di masa depan.
Keempat, Menuju "Partai Tengah" - secara ideologis. Langkah ini bukanlah pengingkaran dari posisi PPP sebagai Parpol Islam yang diidentikkan masyarakat sebagai Partai Kanan. Strategi "Menuju Partai Tengah" merupakan strategi pendulangan suara untuk membidik kelompok masyarakat Islam awam yang berada di basis-basis perkotaan, yang masih alergi dengan label Islam.
Keberadaan desain masa depan PPP dan konsistensi dalam mengimplemen-tasikannya tentu merupakan investasi politik mahal yang hasilnya akan dapat dipetik dikemudian hari. Tidak saja berupa peningkatan suara Pemilu, namun yang lebih penting adalah merupakan dasar berpijak menuju partai modern yang mampu berkiprah secara cerdas dan elegan dalam pentas politik nasional.


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda